Anda
mungkin mengatakan bahwa saya
memiliki "sesuatu" tentang lebah. Setiap kali lebah
terbang di dekat saya,
saya berteriak, melambaikan
tangan saya panik, dan berlari-lari seperti wanita liar. Ya, ya, aku tahu,
aku akan lebih baik jika aku tetap diam, tapi
entah kenapa aku tidak bisa mengendalikan
diri. Reaksi berlebihan saya
kepada lebah mungkin hasil dari beberapa sengatan
lebah menyakitkan saya terima
sebagai seorang anak kecil.
Salah
satu cara untuk menjelaskan bagaimana
orang mengembangkan respon sukarela terhadap rangsangan tertentu, seperti reaksi
takut saya untuk lebah, adalah teori pembelajaran yang dikenal sebagai Classical Conditioning. Materi berikut ini akan membahas
tentang (1) asumsi dasar behavioristik; (2) classical
conditioning; (3) model classical
conditioning; (4) classical
conditioning dalam pembelajaran mausia; (5) fenomena umum dalam classical conditioning; (6) kognitif
dalam classical conditioning; (7)
mengubah respon yang tidak diinginkan; (8) implikasi pendidikan oleh para ahli
behavioristik dan classical conditioning;
dan (9) ringkasan.
1.
Asumsi Dasar Behaviorisme
Penelitian
awal pembelajaran sangat bergantung pada introspeksi diri,
metode di mana orang diminta untuk
"melihat" di dalam kepala
mereka dan menjelaskan apa yang mereka pikirkan. Namun pada awal 1900-an, beberapa psikolog
berpendapat bahwa refleksi diri seperti itu sangat subjektif dan
belum tentu akurat, pertengkaran diperkuat oleh para peneliti kemudian (misalnya, Nisbett & Wilson, 1977;
Zuriff, 1985). Dimulai
dengan upaya ahli fisiologi
Rusia Ivan Pavlov
dan karya psikolog
Amerika Edward Thorndike,
pendekatan yang lebih obyektif untuk mempelajari timbulnya pembelajaran.
Para peneliti ini melihat perilaku sebagai sesuatu yang dapat mereka
lihat dengan mudah, digambarkan secara
objektif, serta diukur. Oleh
karena itu gerakan behavioris
lahir.
Ahli Behavioristik
tidak selalu setuju pada proses tertentu yang menjelaskan pembelajaran. Namun banyak dari mereka secara historis memiliki asumsi dasar tertentu:
a. Prinsip pembelajaran harus berlaku sama terhadap
prilaku yang berbeda dan berbagai jenis hewan. Ahli behavioristik beranggapan
bahwa manusia dan hewan belajar dengan cara yang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia dan hewan memiliki kemampuan yang sama. Sebagai
hasil dari asumsi ini, para ahli
behavioristik sering menerapkan
prinsip-prinsip yang mereka miliki kedalam pembelajaran manusia.
Padahal, prinsip-prinsip tersebut berasal dari penelitian dengan
menggunakan hewan, seperti tikus dan merpati.
Dalam diskusi mereka tentang pembelajaran, mereka sering
menggunakan istilah bentuk organisme untuk merujuk secara umum terhadap kelompok spesies
apapun, manusia dan bukan manusia adalah serupa.
b.
Proses
pembelajaran dapat diteliti secara obyektif ketika
fokus penelitian ada pada stimulus dan respon. Ahli behavioristik percaya bahwa psikolog harus meneliti pembelajaran secara ilmiah
dan objektif. Dalam banyak hal,
ahli kimia dan ahli fisika mempelajari
fenomena di dunia fisik. Dengan berfokus pada dua hal mereka dapat mengobservasi dan mengukur, lebih khusus, dengan berfokus pada stimulus dilingkungan dan respon yang organisme buat
terhadap respon mereka, ahli psikolog dapat menjaga objektivitas. Prinsip pembelajaran ahli behavioristik
sering menggambarkan hubungan antara
stimulus (S) dan
respon (R); oleh
karena itu, behavioristik kadang-kadang
disebut psikologi S-R.
c. Proses internal sebagian besar dikeluarkan dari penelitian ilmiah. Proses
internal yang dimaksud adalah motivasi, pikiran, dan lainnya. Banyak
ahli behavioristik percaya bahwa kita
tidak bisa mengamati secara langsung dan mengukur proses
mental internal. Oleh karena itu, kita hendaknya menyingkirkan proses dari penyelidikan penelitian, serta dari penjelasan tentang bagaimana
pembelajaran dilaksanakan (misalnya,
Kimble, 2000; JB
Watson, 1925). Ahli Behavioristik menggambarkan suatu organisme seperti kotak hitam, rangsangan menimpa kotak
dan tanggapan timbul dari itu, tetapi dengan hal-hal yang terjadi di dalamnya yang tersisa misteri.
Tidak
semua ahli behavioristik
menggunakan perspektif kotak hitam
secara ketat. Namun, beberapa bersikeras bahwa faktor internal organisme
(O), seperti motivasi dan kekuatan hubungan antara stimulus dan respon, juga
penting dalam memahami pembelajaran
dan perilaku (misalnya, Hull, 1943, 1952. Teori
para ahli behavioristik yang baru kadang-kadang
menyebutnya teori S-O-R (stimulus-organisme-respons) daripada teori
S-R. Terutama dalam beberapa dekade terakhir, beberapa
behavioris telah menegaskan bahwa
mereka dapat sepenuhnya memahami kedua
perilaku manusia dan hewan hanya ketika mereka mempertimbangkan proses
kognitif serta peristiwa lingkungan (misalnya, Gereja RM, 1993; DeGrandpre,
2000; Rachlin, 1991;
Wasserman, 1993).
d.
Belajar
melibatkan perubahan perilaku berupa
perubahan jangka panjang dalam representasi mental atau hubungan. Sebaliknya, ahli
behavioristik secara tradisional mendefinisikan
pembelajaran sebagai perubahan perilaku. Dan setelah semua, kita dapat menentukan pembelajaran yang telah terjadi hanya ketika kita melihatnya tercermin dalam tindakan seseorang.
Para
ahli behavioristik semakin sering
membawa faktor kognitif
ke dalam gambar, banyak yang mundur dari definisi
pembelajaran berbasis perilaku. Sebaliknya,
mereka memperlakukan belajar dan perilaku sebagai entitas yang terpisah,
meskipun terkait. Sejumlah psikolog telah
menyarankan supaya beberapa hukum ahli behavioristik yang lebih tepat diterapkan untuk memahami apa yang mempengaruhi kinerja dengan mempelajari tingkah laku, bukan apa yang mempengaruhi belajar itu sendiri
(misalnya, R. Brown
& Herrnstein, 1975; WK Estes, 1969; Herrnstein, 1977;
B. Schwartz &
Reisberg, 1991).
e.
Makluk hidup
dilahirkan diumpamakan seperti papan tulis kosong. Secara historis, banyak ahli behavioristik berpendapat bahwa, selain dari naluri spesies
tertentu (misalnya, sarang burung)
dan dan cacat biologis
(misalnya, penyakit mental pada manusia), makhluk hidup tidak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara
tertentu. Sebaliknya, mereka memasuki dunia sebagai "batu tulis kosong" (atau, dalam bahasa Latin, tabula rasa) dimana pengalaman lingkungan secara bertahap "tertulis." Karena setiap makhluk memiliki seperangkat unik pengalaman lingkungan, demikian juga, itu akan diperoleh oleh dirinya sendiri sendiri sebagai
seperangkat perilaku yang unik.
f. Belajar sebagian besar merupakan hasil dari kejadian lingkungan. Daripada menggunakan pembelajaran berjangka/ berskala, ahli
behavioristik sering berbicara tentang pengkondisian: makhluk hidup dikondisikan oleh peristiwa lingkungan. Bentuk pasif
kata kerja ini diartikan, banyak ahli behavioristik berkeyakinan bahwa
‘belajar adalah hasil dari pengalaman seseorang, pembelajaran sering terjadi
terhadap makhluk hidup dengan cara diluar kendali makhluk hidup.
Beberapa
ahli behavioristik terdahulu, seperti BF Skinner,
Mereka berpendapat bahwa jika kita memiliki pengetahuan
lengkap tentang pengalaman masa lalu makhluk hidup
dan keadaan lingkungan saat ini, serta pengetahuan tentang kecenderungan makhluk hidup yang mungkin mewarisi cara
berperilaku dengan cara tertentu, kita akan dapat
memprediksi tindakan makhluk hidup berikutnya dengan akurat. Banyak ahli
behavioristik masa kini tidak
berpikir dalam cara tersebut.
Dalam pandangan mereka, perilaku makhluk hidup mencerminkan tingkat keragaman bahwa hubungan stimulus-respon dan
genetika saja tidak bisa
menjelaskannya (R. Epstein,
1991; Rachlin, 1991).
Melihat bagaimana makhluk hidup sebelumnya belajar untuk menanggapi rangsangan yang berbeda tentu dapat membantu kita memahami mengapa orang dan hewan lainnya saat ini berperilaku seperti
yang mereka lakukan, tapi kita
tidak akan pernah bisa memprediksi
tindakan mereka dengan kepastian 100%.
g.
Teori yang paling
berguna sangat sederhana. Menurut para ahli, kita harus menjelaskan pembelajaran
tentang semua perilaku, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
Asumsi ini mencerminkan pilihan yang lebih sederhana (ringkas) dalam menjelaskan pembelajaran dan perilaku. Contoh: Classical Conditioning.
2. Classical
Conditioning
Pada
awal 1900-an, dalam upaya untuk lebih memahami sifat pencernaan, ahli fisiologi Rusia Ivan Pavlov melakukan
serangkaian percobaan yang
berkaitan dengan air liur pada
anjing. Cara yang ia lakukan adalah dengan membuat
sayatan di mulut anjing
(yang memungkinkan pengumpulan air liur anjing dalam
cangkir kecil). Pavlov memperhatikan bahwa setelah beberapa kali
perlakuan ini diberikan, anjing akan mulai mengeluarkan
air liur bersamaan dengan asisten
lab memasuki ruangan dengan daging, meskipun anjing belum melihat atau mencium bau daging. Rupanya,
anjing telah belajar bahwa pintu masuk lab
asisten berarti bahwa makanan akan datang. Pavlov mengabdikan selama bertahun-tahun untuk
meneliti secara sistematis tentang proses belajar ini, Ia akhirnya meringkas
penelitiannya ini dalam buku AC Reflexes (Pavlov , 1927).
Pavlov
pada mulanya mengamati tentang:
a.
Pavlov pertama kali
mengamati apakah air liur anjing merespon stimulus-stimulus tertentu, misalnya
cahaya, suara garpu tala, atau bunyi bel. Lalu, Pavlov menggunakan bunyi bel
sebagai stimulus. Seperti yang kita bayangkan, anjing tidak dapat menemukan
sumber bunyi bel, dan tidak menumbuhkan selera makan. Oleh karena itu anjing
tidak mengeluarkan air liur.
b.
Pavlov membunyikan
belnya lagi, lalu diikuti dengan memberikan bubuk daging. Anjing kemudian
mengeluarkan air liur. Pavlov melakukan hal yang sama beberapa kali. Anjing
selalu mengeluarkan air liur setiap kali hal ini dilakukan.
c.
Pavlov membunyikan bel
tanpa menyajikan daging. Namun, anjing mengeluarkan air liur. Hal ini
menunjukkan telah terjadi perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman;
para ahli behavioristik menganggap bahwa telah terjadi proses belajar.
Fenomena yang diamati oleh Pavlov kini
dikenal sebagai Classical Conditioning. Mari
kita analisa/ telaah tiga langkah dalam penelitian Pavlov, yaitu:
a.
Stimulus netral (Neutral Stimulus/ NS) yang dapat
berpengaruh harus diidentifikasi. Rangsangan yang tidak berpengaruh dicatat.
Berdasarkan kasus anjingnya Pavlov, bunyi bel awalnya adalah NS yang tidak
mendapatkan tanggapan berupa air liur.
b.
NS harus diberikan
sebelum stimulus kedua. Stimulus kedua disebut dengan stimulus tidak berkondisi
(Unconditioned Stimulus / UCS). Respon
terhadap rangsangan kedua dinamakan dengan respon tidak berkondisi (Unconditioned Response/ UCR). Hal ini
disebabkan karena organisme merespon
rangsangan tanpa syarat, tanpa harus belajar untuk melakukannya. Pada kasus
anjingnya Pavlov, bubuk daging adalah UCS. Respon anjing dengan mengeluarkan
air liur disebut dengan UCR.
c.
Rangsangan yang pada
mulanya netral menjadi tidak netral lagi karena dapat memberikan rangsangan.
Artinya, NS menjadi CS untuk setiap organisme yang telah belajar tentang respon
berkondisi (CR). Dalam penelitian Pavlov, setelah beberapa
pasangan dengan daging, bel menjadi stimulus
berkondisi itu, dengan
sendirinya, menimbulkan respon
terkondisi dari air
liur.
Penelitian Pavlov tentang Classical Conditioning kemudian
berlanjut setelah penelitian awal tersebut, dan banyak penemuannya diterapkan
dalam spesies lainnya termasuk manusia. Mari kita perhatikan tentang proses
dari Classical Conditioning dan
beberaca contoh bagaimana hal ini dapat terjadi dalam proses belajar manusia.
3. Model Classical Conditioning
Classical
Conditioning telah diterapkan dalam banyak spesies,
misalnya pada bayi manusia (Boiler, 1997; Lipsitt& Kaye, 1964; Reese &
Lipsitt, 1970), janin manusia yang masih dalam kandungan (Macfarlane, 1978),
laboratorium tikus (Cain, Blouin, & Barad, 2003), ikan pelangi (Nordgreen,
Janczak, Hovland, Ranheim, & Horsberg, 2010), dan siput (Samarova dkk,
2005). Penerapan Classical Conditioning telah
berkembang dalam berbagai binatang.
Tabel
3.1
Analisis Classical Conditioning Tentang Bagaimana Anjing Pavlov Belajar
Langkah 1: NS (bel) → (tidak ada respon)
Langkah 2: NS (bel) + UCS (daging) → UCR
(air liur)
Langkah 3: CS (bel) → CR (air liur)
Seperti ilustrasi penelitian Pavlov, Classical Conditioning biasanya terjadi
ketika dua buah stimulus diberikan pada saat yang hampir bersamaan. Salah satu stimulus
merupakan UCS. UCS mendapatkan respon berupa UCR. stimulus kedua juga
mendapatkan respon. Dalam banyak kejadian, suatu respon dapat terjadi dengan
cepat. Namun ada pula yang baru dapat memberikan respon bila diberikan stimulus
berkali-kali (Rascola, 1988).
Classical
Conditioning paling sering muncul ketika CS diberikan
beberapa saat sebelumnya UCS. Untuk
alasan ini, beberapa ahli psikologi menggambarkan bahwa Classical Conditioning sebagai bentuk pembelajaran dengan memberikan
sebuah symbol/ tanda. Dengan memberikan yang pertama, CS memberikan tanda bahwa
UCS akan datang. Beberapa anjingnya Pavlov mungkin telah belajar bahwa bunyi
bel mengindikasikan bubuk daging yang sangat lezat akan datang.
Respon lain secara tidak sengaja akan
timbul seiring dengan Classical
Conditioning. Respon tersebut tidak dapat dikontrol untuk tidak terjadi.
Ketika kita mengatakan bahwa stimulus akan membawa respon, ini berarti bahwa stimulus
akan membawa respon secara otomatis. Dalam banyak kejadian respon terkondisi
mirip dengan respon tidak terkondisi, dengan dua hal yang berbeda terutama stimulus
yang memunculkan respond an kekuatan respon itu sendiri. Namun, CR sedikit
berbeda dan berlawanan. UCR (misalnya kecanduan obat). Tapi, respon terkondisi
memungkinkan makhluk hidup untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri untuk
respon tak terkondisi yang akan muncul.
4. Classical
Conditioning dalam
pembelajaran Manusia
Kita dapat menggunakan
teori Classical Conditioning untuk
membantu kita memahami bagaimana manusia belajar tentang berbagai response yang terjadi tanpa dapat
dikontrol, terutama respon yang berhubungan
dengan fungsi psikologi dan emosi. Misalnya, manusia tidak mau memakanan
makanan tertentu karena mereka menganggap makanan tersebut dapat menyebabkan
sakit perut (Garb & Stunkard,
1974; Logue, 1979).
Penggambarannya yaitu, setelah saya menghubungkan rasa saus salad mentimun (CS)
dengan rasa mual yang saya alami ketika sedang hamil (UCS), menyebabkan saya
merasa enggan untuk mencicipi saus mentimun selama beberapa tahun (CR).
Classical Conditioning juga dapat menjelaskan beberapa ketakutan dan phobia yang dialami manusia (Mineka
& Zinbarg, 2006). Misalnya, mungkin phobia
saya terhadap lebah dapat dijelaskan dengan fakta bahwa lebah (CS)
dikatakan memiliki sengatan yang menyakitkan (UCS), sehingga saya menjadi
semakin takut (CR) terhadap serangga yang jahat. Dalam hal yang sama,
orang-orang yang digigit oleh anjing tertentu akan menjadi takut terhadap jenis
anjing tersebut, atau bahkan terhadap semua jenis anjing.
Mungkin,
contoh yang paling banyak dikenal dalam Classical
Conditioning adalah rasa takut terhadap beberapa hewan. Dalam hal ini
adalah kasus dari “Albert kecil”. Albert kecil adalah bayi yang belajar rasa
takut terhadap tikus putih melalui prosedur yang dilakukan oleh John Watson dan
Rosalie Rayner (1920). Albert menjadi marah. Padahal Albert, anak kecil yang
berumur 11 bulan, jarang menangis dan
merasa takut. Suatu hari, Albert melihat tikus putih. Ketika dia mengulurkan
tangannya dan menyentuh tikus putih tersebut, batangan baja dibelakangnya
dipukul sehingga menimbulkan suara yang keras dan tidak menyenangkan. Kemudian,
dia mengulurkan tangan lainnya dan menyentuh tikus putih tersebut lagi. Baja
batang tersebut dipukul lagi. Setelah lima kali kejadian, tikus sebagai CS dan
suara keras sebagai UCS, Albert benar-benar takut dengan tikus. Setiap kali dia
melihat tikus dia akan menangis secara histeris dan merangkak secepatnya.
Watson dan Rayner melaporkan bahwa Albert akan merespon rasa takut dengan cara
yang sama terhadap kelinci, anjing, mantel kulit anjing laut, wool katun, dan
topeng Santa Clause dengan jenggot. Meskipun tidak ada yang dipasangkan dengan
suara yang mengejutkan (Watson dan Rayner tidak pernah memperbaiki ketakutan
Albert. Untungnya, standar etika dari Asosiasi Psikologi Amerika sekarang
melarang hal tersebut).
Takut
gagal merupakan contoh lain respon dari Classical
Conditioning. Dalam beberapa kasus, orang yang memiliki rasa takut gagal
yana sangat besar mungkin memiliki pengalaman kegagalan yang tidak
menyenangkan. Mungkin, mereka menganggap kegagalan akan mendapatkan hukuman
yang tidak menyenangkan berupa kemarahan orang tua atau ejekan teman sekelas.
Kadang-kadang kegagalan merupakan konsekuensi alami dari mencoba hal-hal baru
baik di sekolah, di rumah, atau dimanapun. Guru dan orang tua harus
berhati-hati, kegagalan tidak menjadi stimulus berkondisi yang positif sehingga
anak akan melawan terhadap aktivitas baru yang menantang tapi tugas yang dapat
beresiko.
Sikap
dapat menjadi bagian dari hasil Classical
Conditioning. Dalam satu penelitian (Olson & Fazio, 2001), seorang
mahasiswa duduk di depan computer. Ia sedang menonton berbagai karakter kartun
yang tidak dikenal dalam video game
pokemon. Satu karakter digambarkan dengan kata-kata dan bentuk yang dapat
membangkitkan perasaan yang menyenangkan (misalnya baik, mengagumkan, gambar
anak anjing, dan es krim coklat). Karakter kedua digambarkan dengan kata-kata
dan bentuk yang dapat membangkitkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya
buruk, memalukan, gambar kecoa dan pria dengan pisau). Karakter lainnya
digambarkan lebih netral. Setelah itu, ketika siswa diminta untuk menilai
beberapa karakter kartun. Penilaian menggunakan skala -4 untuk sangat buruk
hingga +4 untuk sangat baik. Mereka lebih baik menilai karater yang menyenangkan
dari pada karakter yang tidak menyenangkan. Anehnya, sikap positif tidak selalu
muncul ketika manusia mengalaminya dalam siatuasi yang sama. Mengalaminya
secara berulang-ulang tanpa adanya sesuatu yang tidak menyenangkan akan cukup
memberikan pilihan (Zajonc, 2001).
Contoh
di atas merupakan contoh Classical
Conditioning dalam kehidupan sehari-hari. Semoga penjelasan di atas dapat
membantu kalian untuk mengenali respon dari Classical
Conditioning. Pembahasan selanjutnya adalah beberapa fenomena umum yang
dikaitkan dengan Classical Conditioning.
5. Fenomena
Umum dalam Classical Conditioning
Pavlov
dan beberapa ahli behavioristik telah menjelaskan beberapa fenomena yang
terkait dengan Classical Conditioning. Kita
akan mempelajari beberapa fenomena tersebut, seperti: (a) dugaan yang
berhubungan, (b) pentingnya kemungkinan, (c) kepunahan, (d) pemulihan spontan,
(e) generalisasi, (f) diskriminasi rangsangan, (g) kondisi tingkat tinggi, dan
(h) kondisi awal alat indra.
a. Dugaan
yang Berhubungan (Associative Bias)
Karakteristik
dari stimulus berkondisi akan mempengaruhi sejauh mana kondisi akan terjadi.
Rangsangan yang netral lebih terlihat, lebih cerah, lebih keras, atau
sebaliknya lebih giat. Semakin besar kemungkinan menjadi terkondisi ketika
pengalaman dihubungkan dengan rangsangan tak terkondisi (Rachlin, 1991; B.
Schwartz & Reisberg, 1991). Selain itu, beberapa rangsangan menjadi
dihubungkan dengan rangsangan tidak terkondisi. Misalnya, makanan lebih
cenderung menjadi rangsangan terkondisi. Makanan dihubungkan dengan rasa mual
(UCS), dari pada kilatan cahaya atau suara garpu tala. Dengan kata lain,
hubungan antara rangsangan tertentu lebih mungkin untuk dilakukan dari pada
hubungan antara fenomena lain yang dikenal dengan dugaan yang berhubungan (J.
Garcia & Koeling , 1966; Hollis 1997; B. Schwartz & Reisberg, 1991).
Sangat mungkin, evolusi telah terjadi dalam hal ini. Nenek moyang kita dapat
beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya ketika mereka cenderung membuat
hubungan yang mencerminkan sebab akibat, seperti hubungan antara mual dengan
makanan baru yang dipaksa (Ohman & Mineka, 2003; Timberlake& Lucas ,
1989).
b. Pentingnya
Kemungkinan (Importance
of Contingency)
Pavlov
mengemukakan bahwa Classical
Conditioninng terjadi ketika rangsangan terkondisi dan rangsangan tak
terkondisi diberikan secara hampir bersamaan dan adanya kedekatan antara kedua
rangsangan. Tapi, jika hanya kedekatan saja tentu belum cukup. Seperti
disebutkan sebelumnya, Classical
Conditioning paling sering terjadi ketika rangsangan terkondisi diberikan
beberapa saat sebelum rangsangan tak terkondisi. Hal ini cenderung berhasil
ketika CS dan UCS diberikan secara bersamaan, dan jarang berhasil ketika CS
diberikan setelah UCS. (R. R. Miller & Barnet, 1993). Dalam beberapa kasus,
orang-orang mengembangkan rasa keengganan terhadap beberapa makanan ketika
terjadi penundaan antara stimulus terkondisi (makanan) dengan stimulus tidak
terkondisi (mual) selama 24 jam (Logue, 1979).
Teori
terkini telah menyarankan bahwa, kemungkinan merupakan kondisi yang sangat
penting. Rangsangan terkondisi berpotensi terjadi ketika rangsangan tidak
terkondisi mengikutinya. Dengan kata lain, ketika rangsangan terkondisi
memberikan sinyal maka rangsangan tak terkondisi akan tiba. Ketika dua buah
rangsangan yang biasanya ditemui secara terpisah terjadi secara bersamaan untuk
beberapa kali secara kebetulan, Classical
Conditioning tidak mungkin
terjadi (Gallistel
& Gibbon, 2001;
Rescorla, 1988; Vansteenwegen,
Crombez, Baeyens, Hermans, & Eelen,
2000).
c. Kepunahan
(Extinction)
Kita
kembali sejenak mengingat anjingnya Pavlov. Anjing mengeluarkan air liur ketika
mendengar suara bel bersamaan dengan bubuk daging pada beberapa kesempatan.
Namun, apa yang akan terjadi jika bel dibunyikan secara terus menerus tanpa
diikuti dengan pemberian bubuk daging? Pavlov menemukan bahwa rangsangan
terkondisi yang diberikan secara berulang tanpa rangsangan tidak terkondisi
menyebabkan respon terkondisi menjadi lemah secara berturut-turut. Akhirnya, anjing tidak mengeluarkan air liur lagi
ketika mendengar suara bel. Dengan kata lain, respon terkondisi akan
menghilang. Pavlov menyebut kejadian ini sebagai kepunahan.
Kadang-kadang
respon terkondisi akan padam (hilang), namun dapat juga tidak akan hilang.
Ketidakpastian kepunahan adalah sumber rasa frustasi siapa saja yang bekerja
dengan orang-orang yang memperoleh yang tidak diinginkannya. Nantinya, dalam
bab ini saya akan membahas mengapa kepunahan tidak selalu dapat terjadi.
d.
Pemulihan Spontan (Spontaneous
Recovery)
Meskipun Pavlov memutuskan respon air
liur anjing yang terkondisi dengan cepat, dengan berulang kali menyajikan bel
dengan tidak adanya tepung daging, ketika ia memasuki laboratorium pada hari
berikutnya ia menemukan bahwa bel sekali lagi menimbulkan air liur, yang sebelumnya
hampir seolah-olah tidak pernah terjadi (punah). Munculnya kembali respon air
liur setelah sebelumnya telah diputuskan adalah sesuatu yang oleh Pavlov
disebut spontaneous recovery (pemulihan spontan).
Dalam istilah yang lebih umum, spontaneous
recovery (pemulihan spontan) adalah munculnya kembali respon terkondisi
ketika periode kepunahan diikuti dengan periode istirahat. Sebagai contoh, jika
saya berada di dekat banyak lebah pada periode waktu tertentu, akhirnya saya
diam menata diri (settle down) dan kembali tenang. Setelah menghadapi
lebah di beberapa kesempatan kemudian, respon pertama saya adalah kehilangan
kendali lagi.
Pavlov menemukan bahwa ketika respon
terkondisi muncul dalam spontaneous recovery (pemulihan spontan), itu
biasanya lebih lemah dari respon terkondisi yang asli dan pemutusan yang lebih
cepat. Dalam situasi di mana beberapa spontaneous recovery (pemulihan
spontan) diamati (masing-masing terjadi setelah masa istirahat), CR (air liur)
yang muncul kembali menjadi semakin lemah dan menghilang semakin cepat.
e. Generalisasi
(Generalization)
Anda mungkin ingat bahwa setelah Albert kecil
dikondisikan untuk takut tikus putih, ia juga menjadi takut pada kelinci,
anjing, mantel bulu putih, kapas, dan Santa Claus yang memakai topeng berbulu
halus dan berjanggut. Ketika peserta didik menanggapi rangsangan lain dengan
cara yang sama bahwa mereka menanggapi rangsangan AC, generalisasi terjadi.
Semakin mirip stimulus maka menjadi stimulus terkondisi, semakin besar
probabilitas generalisasi. Albert menunjukkan takut terhadap semua benda yang
putih dan berbulu halus seperti tikus, tapi dia tidak takut pada selain putih
dan blok mainan yang tidak berbulu halus miliknya. Dengan cara yang sama,
seorang anak yang takut pada ayah yang kasar dapat menggeneralisasi bahwa rasa
takut kepada orang lain, tetapi tidak untuk wanita.
Generalisasi tanggapan dikondisikan
untuk stimulus baru merupakan fenomena umum (Bouton, 1994; N. C. Huff &
LaBar, 2010; McAllister & McAllister, 1965). Dalam beberapa kasus,
generalisasi respon takut AC benar-benar dapat meningkatkan dari waktu ke
waktu; yaitu, seiring waktu, individu mungkin menjadi takut peningkatan jumlah
objek. Dengan demikian, respon terkondisi disfungsional yang tidak cepat
memadamkan kadang-kadang bisa menjadi lebih bermasalah seperti tahun-tahun
berlalu.
f. Diskriminasi
Rangsangan (Stimulus
Discrimination)
Pavlov mengamati bahwa ketika ia mengkondisikan
anjing untuk mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap nada dengan nada
tinggi, anjing akan menggeneralisasi bahwa respon dikondisikan untuk nada
bernada rendah. Untuk mengajarkan anjing dalam membedakan antara dua nada,
Pavlov berulang kali membunyikan nada tinggi dalam hubungannya dengan tepung
daging dan membunyikan nada rendah tanpa daging. Setelah beberapa presentasi dari
dua nada tersebut, anjing akhirnya belajar untuk mengeluarkan air liur hanya
pada nada tinggi. Dalam terminologi Pavlov, diferensiasi antara dua nada telah
terjadi. Psikolog saat ini lebih sering menggunakan istilah Stimulus Discrimination (Diskriminasi Rangsangan)
untuk fenomena ini.
Stimulus
Discrimination (Diskriminasi Rangsangan) terjadi ketika
salah satu stimulus (CS +) disajikan bersama dengan stimulus berkondisi, dan
stimulus lain (CS-) disajikan dalam ketiadaan UCS. Setiap orang mendapat respon
terkondisi untuk CS + tapi entah tidak awalnya generalisasi respon terhadap CS-
atau, melalui pengalaman berulang, belajar bahwa CS- tersebut tidak menjamin
respon yang sama (NC Huff & LaBar, 2010). Sebagai contoh, jika seorang anak
yang disalahkan oleh ayahnya secara bersamaan memiliki interaksi positif dengan
orang dewasa lainnya, dia tidak mungkin untuk menggeneralisasi ketakutannya
kepada ayahnya terhadap orang lain.
g. Kondisi
Tingkat lebih Tinggi (Higher-Order Conditioning)
Respon stimulus terkondisi kadang-kadang
saling mendukung satu sama lain. Sebagai
contoh, jika Pavlov mengkondisikan anjing untuk mengeluarkan air liur pada
suara bel dan kemudian disajikan bel yang di hubungkan dengan stimulus netral
yang lain -katakanlah, dengan cepat bahwa tidak ada hubungannya dengan daging_
bahwa stimulus netral juga akan mulai mendapatkan respon air liur. fenomena ini
dikenal sebagai second-order conditioning atau,
lebih umum, Higher-Order
Conditioning.
Higher-Order
Conditioning bekerja seperti ini: Pertama, stimulus
netral (NS 1) menjadi terkondisi stimulus (CS 1) oleh yang dipasangkan dengan
stimulus berkondisi (UCS), sehingga segera memunculkan respon terkondisi (CR).
Selanjutnya, stimulus netral kedua (NS 2) dipasangkan dengan CS 1, dan, juga, mulai
mendapatkan respon terkondisi; bahwa stimulus kedua juga telah menjadi
terkondisi stimulus (CS 2). Proses ini yang digambarkan di Gambar 3.2. Langkah
1 dan 2 menggambarkan Original
Conditioning; Langkah 3 dan 4 menggambarkan Higher-Order Conditioning.
Gambar 3.2 Contoh Higher-Order Conditioning
Step
1: NS1
(bell) UCR
(salivate)
UCS
(meat)
Step 2: CS1 CR
(bell) (salivate)
Step 3: NS2
(light) CR
(salivate)
CS1
(bell)
Step 4: CS2 CR
(light) (salivate)
Higher-Order
Conditioning memberikan penjelasan yang mungkin
untuk beberapa hal menakutkan yang tampaknya tidak masuk akal (contoh, Klein,
1987; wessa & Flor, 2007). Misalnya, bayangkan bahwa pada beberapa
kesempatan kegagalan pada tugas-tugas akademik (awalnya stimulus netral)
dikaitkan dengan hukuman fisik yang menyakitkan (UCS yang memunculkan UCR
takut), pada intinya bahwa kegagalan (sekarang CS) mulai menimbulkan kecemasan.
Kemudian untuk stimulus situasi yang lain, seperti tes, presentasi lisan, atau
lingkungan umum di sekolah sering dikaitkan dengan kegagalan. Dengan cara ini,
siswa mungkin mengalami peningkatan kecemasan pada saat tes, takut berbicara di
depan umum, atau bahkan fobia sekolah-takut terhadap sekolah itu sendiri.
Higher-Order
Conditioning mungkin juga menjelaskan sikap-sikap
tertentu yang kita peroleh terhadap tertentu orang atau situasi (misalnya,
Kanekar, 1976). Sebagai contoh, mari kita kembali ke percobaan yang melibatkan
Karakter Pokemon yang saya jelaskan sebelumnya (Olson & Fazio, 2001). Orang
tidak dilahirkan dengan perasaan khusus tentang kata-kata mengagumkan atau
mengerikan, juga tidak selalu memiliki built-in reaction terhadap gambar
hot fudge sundae atau kecoak. Sebaliknya, orang mungkin mengalami
perasaan tertentu tentang kata-kata dan gambar melalui pengalaman mereka dari
waktu ke waktu, ke titik di mana rangsangan ini dapat memberikan titik awal
untuk pengkondisian klasik lanjut.
h.
Kondisi Awal Alat Indra (Preconditioning
Sensory)
Preconditioning Sensory mirip dengan
pengkondisian tingkat tinggi dalam satu stimulus-respon asosiasi dibangun di
atas yang lain, tetapi langkah-langkah yang terjadi dalam urutan yang berbeda.
Mari kita kembali satu waktu akhir untuk miskin, anjing Pavlov dieksploitasi
secara berlebihan. Misalkan kita pertama menyajikan suara bel dan flash dari
cahaya secara bersamaan. Kemudian kita memasangkan bell dengan bubuk daging.
Tidak hanya melakukan anjing mengeluarkan air liur di Menanggapi suara bel
tetapi mereka juga mengeluarkan air liur dalam menanggapi kilatan cahaya.
Dalam istilah yang lebih umum,
preconditioning sensorik terjadi seperti ini: Pertama, dua stimuli netral (NS 1
dan NS 2) disajikan secara bersamaan. Kemudian salah satu stimuli netral (NS 1)
dikaitkan dengan stimulus berkondisi (UCS), sehingga menjadi stimulus
terkondisi (CS 1) dan memunculkan respon terkondisi (CR). Dalam kasus
preconditioning sensorik, netral kedua stimulus (NS 2) juga memunculkan respon
terkondisi (yaitu, NS 2 telah menjadi CS 2) berdasarkan nya asosiasi sebelumnya
dengan CS 1.
Preconditioning Sensory menawarkan
penjelasan alternatif untuk beberapa kasus uji kecemasan (Klein, 1987). Sekolah
(NS 1) pertama kali berhubungan dengan tes (NS 2). Jika sekolah ini kemudian
dikaitkan dengan beberapa peristiwa traumatik (UCS), maka tidak hanya akan
sekolah menjadi stimulus terkondisi (CS 1) memunculkan kecemasan (CR) tetapi
tes dapat menjadi stimulus terkondisi (CS2) juga. Diagram bagaimana tes
kecemasan bisa berkembang melalui preconditioning sensorik disajikan pada
Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Contoh Sensory
Preconditioning
Step
1: NS1
(school)
(no
response)
NS2
(tests)
Step 2: NS1 UCR
(school) (anxiety)
UCS
(traumatic
event)
Step 3: CS1
(school) CR
(anxiety)
Step 4: CS2 CR
(tests) (anxiety)
6. Cognition
in Classical
Conditioning
Sekarang
banyak teori percaya bahwa Classical Conditioning sering
melibatkan pembentukan hubungan tidak antara dua stimuli tetapi antara internal
mental representations dari berbagai rangsangan (misalnya, Bouton, 1994;
Forsyth & Eifert, 1998; McDannald & Schoenbaum, 2009). Selain itu, dengan
adanya stimulus terkondisi memungkinkan suatu organisme untuk memprediksi
(secara jelas mental) stimulus tidak terkondisi yang akan datang (Hollis, 1997;
Jara, Vila, & Maldonado, 2006; Mineka & Zinbarg, 2006; Rescorla, 1988).
Seperti yang Anda lihat, kemudian, behavioris kini mulai berbicara tentang proses pemikiran bahwa mereka bebas
mengendalikan lebih awal.
Pengkondisian
klasik tidak selalu melibatkan kognisi, namun untuk lebih tepatnya tidak selalu
melibatkan kesadaran (Baccus, Baldwin, & Packer, 2004; Campanella &
Rovee-Collier, 2005; Papka, Ivry, & Woodruff-Pak, 1997). 4 Misalnya, ketika
organisme menerima obat-obatan tertentu (misalnya, morfin atau insulin),
obat-obatan, seperti rangsangan berkondisi, secara alami menyebabkan respon
fisiologis tertentu (misalnya, mengurangi sensitivitas rasa sakit atau
hipoglikemia). Anehnya, stimuli disajikan sebelum obat-mungkin berupa cahaya,
nada, atau konteks lingkungan lebih umum-mulai mendapatkan respon yang
berlawanan (misalnya, meningkatkan sensitivitas rasa sakit atau hiperglikemia),
mungkin untuk mempersiapkan-dalam hal ini, untuk melawan-rangsangan farmasi
yang akan segera menyusul (misalnya, Flaherty et al, 1980;. S. Siegel, 1975, 1979).
Respon
fisiologis yang hampir pasti tidak sadar dikendalikan oleh penerima obat,
adalah salah satu penjelasan yang mungkin untuk kecanduan masyarakat terhadap
nikotin, alkohol, dan narkoba. Ketika perokok kebiasaan dan penyalahguna zat
lainnya kembali ke lingkungan di mana mereka sebelumnya telah menggunakan zat
adiktif, tubuh mereka merespon menetralkan cara yang membuat substansi bahkan
lebih diinginkan atau tampaknya diperlukan. Sementara itu, mereka mengembangkan
toleransi yang lebih besar untuk substansi pilihan mereka dan perlu
meningkatkan jumlah untuk mendapatkan sesuatu yang sama “tinggi" atau mencari
yang lainya_lebih dari sekedar status fisiologisnya. (CA Conklin, 2006;
McDonald & Siegel, 2004; S. Siegel, 2005; S. Siegel, Baptista, Kim, McDonald,
& Weise-Kelly, 2000).
7.
Changing Undesirable
Conditioned Responses
(Mengubah Tanggapan Terkondisi yang
tidak diinginkan)
Tanggapan
Terkondisi seringkali sulit dihilangkan karena conditioned responses
tersebut
muncul sendiri. Orang-orang memiliki sedikit atau tidak ada kontrol atas
mereka. Namun beberapa tanggapan klasik AC (misalnya, beberapa irasional
ketakutan) serius dapat mengganggu fungsi sehari-hari. Dua strategi yang
mungkin untuk mengurangi kontraproduktif tanggapan AC adalah kepunahan dan counterconditioning.
a.
Extinguishing
Undesirable Responses
(Pemadam/Pemutus
Tanggapan yang tidak diinginkan)
Salah
satu cara yang jelas untuk menghilangkan respon terkondisi adalah melalui
proses kepunahan. Jika conditioned stimulus dipresentasikan tanpa adanya
unconditioned stimulus dengan frekuensi yang cukup, maka respon
terkondisi akan menghilang. Hal ini sering terjadi.
Sayangnya,
bagaimanapun, kepunahan ini sangat dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan
respon terkondisi. Hal ini sederhana namun tidak selalu berlangsung demikian. Ada beberapa kemungkinan
alasan:
•
Kecepatan di mana
kepunahan terjadi tidak dapat diprediksi. Jika, selama proses pengkondisian, conditioned
stimulus kadang-kadang disajikan dalam hubungannya dengan unconditioned
stimulus tapi kadang-kadang saja (yaitu, pasangan stimulus tidak
konsisten), kepunahan cenderung menjadi sangat lambat (Humphreys, 1939).
•
Orang (dan banyak
spesies lain juga) cenderung menghindari stimulus takut, sehingga mengurangi
kemungkinan bahwa mereka akhirnya menghadapi conditioned stimulus tanpa
adanya unconditioned stimulus. (Kita akan melihat lebih dekat pada
penghindaran belajar di Bab 4.)
•
Melalui second-order
conditioning, berbagai stimulus mungkin telah dikaitkan dengan original
conditioned stimulus dan dengan demikian mulai menjadi tanggapan tidak
produktif (mis, ketakutan ekstrim atau kecemasan). Kadang-kadang bisa sangat sulit
untuk memadamkan second-order
conditioned responses ini- contoh: masalah yang telah dilaporkan pada orang
yang menderita gangguan stres pasca trauma (wessa & Flor, 2007).
•
Bahkan ketika respon
telah dipadamkan, mungkin muncul kembali melalui pemulihan spontan. Kita tidak
pernah bisa benar-benar yakin ketika respon spontan akan pulih dan ketika itu tidak
kita inginkan. Spontaneous recovery (pemulihan spontan) mungkin terjadi
jika kepunahan terjadi hanya dalam satu konteks; conditioned response sangat
tepat jika muncul kembali dalam konteks yang dipunahkan tidak terjadi (Bouton,
1994).
b.
Counterconditioning
More Desirable Responses
Yang
terbaik, kepunahan hanya menghilangkan conditioned response, sedangkan counterconditioning
menggantikan respon dengan sesuatu yang baru yang lebih produktif dan cenderung
lebih efektif. Mary Cover Jones’s (1924) karya klasik dengan judul "Little
Peter" memberikan contoh yang baik. Peter adalah seorang anak berusia 2
tahun yang entah bagaimana merasa takut pada kelinci. Untuk menyingkirkan
ketakutan Peter, Jones menempatkannya di kursi tinggi dan memberinya beberapa
permen. Saat ia makan, ia membawa kelinci ke dalam ruangan yang sama pada sisi
yang jauh dari Peter. Dalam keadaan yang berbeda kelinci mungkin telah
menimbulkan kecemasan. Namun, rasa senang yang dialami Peter karena makan
permen memberikan respon yang lebih kuat dan melampaui kecemasan apapun yang
dia rasakan karena kehadiran kelinci. Jones mengulangi prosedur yang sama setiap
hari selama dua bulan, setiap kali menempatkan Peter di kursi tinggi dengan
permen dan membawa kelinci sedikit lebih dekat daripada kesempatan sebelumnya,
dan kecemasan Peter karena kelinci akhirnya menghilang. Baru-baru ini, para
peneliti telah menggunakan prosedur yang sama dalam rangka membantu seorang
anak berusia 8 tahun untuk menghilangkan rasa takutnya terhadap mainan animasi elektronik
dan dekorasi liburan (Ricciardi, Luiselli, & Camare, 2006).
Secara
umum, counterconditioning melibatkan langkah-langkah berikut:
1.
Respon baru yang tidak
sesuai dengan respon terkondisi yang dipilih. Dua tanggapan tidak kompatibel
satu sama lain ketika mereka tidak dapat dilakukan pada saat yang sama. Karena classically
conditioned responses sering terjadi secara emosional secara alami, respon
yang tidak kompatibel sering semacam reaksi emosional berlawanan. Misalnya,
dalam kasus Little Peter, kebahagiaan digunakan sebagai incompatible
response untuk menghadapi rasa takut. Sebuah alternatif akan ada respon
yang melibatkan relaksasi, karena ketakutan dan kecemasan melibatkan ketegangan
tubuh.
2.
Stimulus yang
memunculkan respon yang tidak kompatibel harus diidentifikasi; misalnya, permen
menimbulkan respons "happy" untuk Peter. Jika kita ingin membantu
seseorang mengembangkan Tanggapan senang stimulus yang sebelumnya telah
menimbulkan ketidaksenangan, kita perlu menemukan stimulus yang sudah
memunculkan kesenangan-mungkin teman, pesta, atau favorit makanan. Jika kita
ingin seseorang memperoleh respon relaksasi, kita mungkin bertanya kepada orang
tersebut untuk membayangkan berbaring di tempat yang sejuk, di padang rumput
yang harum atau pada kursi oleh kolam renang.
3.
Stimulus yang memunculkan
respon baru disajikan kepada individu, dan conditioned stimulus memunculkan
respon terkondisi yang tidak diinginkan secara bertahap diperkenalkan ke
situasi. Dalam memeberikan terapi untuk mengatasi ketakutan Peter terhadap kelinci,
Jones pertama kali memberi Peter beberapa permen; ia kemudian disajikan kelinci
agak jauh dari Peter, hanya secara bertahap membawanya lebih dekat dan lebih
dekat dalam sesi berturut-turut. Trik di counterconditioning adalah
untuk memastikan bahwa stimulus memunculkan respon yang diinginkan selalu
memiliki efek kuat dari stimulus yang memunculkan respon yang tidak diinginkan.
Jika tidak, mungkin respon yang terakhir yang mungkin menang.
Sebuah
teknik saya sarankan untuk banyak mahasiswa pascasarjana yang takut statistik mereka
diperlukan program pada dasarnya adalah versi dikelola sendiri dari counterconditioning.
Secara khusus, saya sarankan bahwa siswa yang fobia terhadap matematika ketika menemukan
buku matematika yang jauh di bawah tingkat kemampuan mereka sendiri-di tingkat
dasar tentang bilangan, -sehingga masalah kecemasan tidak muncul. Ketika mereka
bekerja melalui teks, para siswa mulai mengasosiasikan matematika dengan sukses
daripada kegagalan. Instruksi yang diprogramkan (dijelaskan dalam Bab 5) adalah
teknik lain yang dapat berguna dalam mengurangi kecemasan tentang materi
pelajaran yang diberikan, karena kemungkinan siswa untuk menguasai materi yang
sulit berpotensi lebih kecil, dengan langkah yang mudah.
Counterconditioning
sebagai sarana untuk mengurangi atau menghilangkan tanggapan kecemasan banyak
dikondisikan. Misalnya, dalam desensitisasi sistematis, orang-orang yang merasa
cemas berlebihan dengan adanya rangsangan tertentu diminta untuk bersantai
sambil membayangkan diri agar stresnya hilang perlu melibatkan orang-orang lain
untuk memberikan rangsangan; dalam melakukannya, mereka secara bertahap
menggantikan kecemasan dengan respon relaksasi (Head & Gross, 2009; Wolpe,
1969; Wolpe & Plaud, 1997). Atau, orang mungkin memiliki
"pengalaman" serangkaian situasi stres melalui penggunaan kacamata
dan gambar yang dihasilkan komputer, sambil membuat upaya bersama untuk
bersantai (P. Anderson, Rothbaum, & Hodges, 2003; Garcia-Palacios, Hoffman,
Carlin, Furness, & Botella, 2002).
Desensitisasi
sistematis telah banyak digunakan sebagai sarana mengobati masalah seperti tes
kecemasan dan ketakutan berbicara di depan umum (Head & Gross, 2009; Hopf
& Ayres, 1992; WK Silverman & Kearney, 1991). Aku harus menunjukkan,
bagaimanapun, bahwa mengobati tes kecemasan sendiri, tanpa remediating sumber
akademik kemungkinan hasil tes siswa miskin juga, dapat mengurangi tes
kecemasan tanpa perbaikan bersamaan dalam nilai ujian (Cassady, 2010b;
Naveh-Benjamin, 1991; Tryon, 1980).
Implikasi Asumsi Behavioris dan Classical Conditioning
pada Pendidikan
Dari
apa yang telah kita pelajari sejauh ini tentang ide-ide behavioris, kita dapat
memperoleh beberapa implikasi untuk pengaturan instruksional:
1.
Praktek adalah penting.
Dari perspektif behavioris, orang lebih cenderung untuk belajar ketika mereka
memiliki kesempatan untuk berperilaku. contoh ketika mereka bisa berbicara,
menulis, melakukan percobaan, atau presentasi (misalnya, Drevno et al, 1994;.
McDowell & Keenan, 2001;. Warren et al, 2006). Idealnya, kemudian, siswa
harus aktif responden selama proses pembelajaran, bukan hanya pasif penerima
informasi atau keterampilan apa pun yang sedang diajarkan.
Banyak
behavioris menekankan gagasan bahwa pengulangan asosiasi stimulus-respon
memperkuat asosiasi tersebut. Jika orang perlu belajar tanggapan terhadap
rangsangan tertentu secara menyeluruh, praktek sangat penting. Sebagai contoh,
siswa akan belajar dasar dan mengambilnya lebih cepat jika mereka mengulangi
fakta-fakta berkali-kali-mungkin melalui penggunaan kartu flash atau mungkin
dengan menerapkan fakta-fakta sering pada tugas pemecahan masalah. Dengan cara
yang sama, banyak guru percaya bahwa cara terbaik bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan membaca mereka tidak hanya untuk membaca, membaca,
membaca.
2.
Siswa harus menghadapi
materi pelajaran dalam iklim yang positif dan mengasosiasikannya dengan emosi
yang menyenangkan. Daya tahan dan generalisasi beberapa tanggapan pengkondisian
klasik diarahkan pada kebutuhan iklim kelas yang positif bagi siswa yang dimulai
pada Hari ke-1. Siswa harus mengalami tugas-tugas akademik dalam konteks yang
menimbulkan emosi menyenangkan-perasaan seperti kenikmatan, antusiasme, dan
kegembiraan-bukan dalam konteks yang menimbulkan kecemasan, kekecewaan, atau
kemarahan. Ketika siswa menghubungkan materi pelajaran akademik dengan perasaan
yang baik, mereka lebih mungkin untuk mengejar semua itu atas kemauan mereka
sendiri. Misalnya, ketika pengalaman awal anak-anak dengan buku adalah yang
menyenangkan, mereka lebih cenderung untuk lebih sering membaca dan secara luas
di tahun kemudian (L. Baker, Scher, & Mackler, 1997).
Sebaliknya,
ketika sekolah atau guru dikaitkan dengan hukuman, penghinaan, kegagalan, atau
frustrasi, sekolah dan kurikulum dapat menjadi sumber kecemasan yang
berlebihan. beberapa kegiatan-termasuk tes, presentasi lisan, dan materi pelajaran
yang sulit -terutama yang terkait dengan konsekuensi yang tidak menyenangkan
seperti kegagalan atau rasa malu, dan siswa dapat segera menjadi cemas ketika
terlibat di dalamnya (Cassady, 2010a; Zeidner & Matthews, 2005).
Pendidik
telah sering berargumentasi bahwa sekolah harus menjadi tempat di mana siswa
bertemu lagi dan sukses dari kegagalan, dan pengkondisian klasik memberikan
pembenaran bagi argumen mereka. untuk memaksimalkan keberhasilan tersebut, guru
harus mengantarkan siswa untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan memiliki
kemampuan kognitif yang melekat pada pikiran mereka ketika merencanakan
kurikulum mereka, dan mereka harus menyediakan sumber daya dan bantuan yang diperlukan
siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kelas dengan sukses. Mereka juga harus
mengambil tindakan pencegahan khusus ketika meminta siswa untuk melakukan
kegiatan yang sulit di depan orang lain. Misalnya, ketika siswa harus melakukan
presentasi lisan di kelas, guru mereka mungkin memberikan saran spesifik
tentang materi apa yang harus dipresentasikan dan bagaimana menyajikannya
sedemikian rupa agar teman sekelas bereaksi positif.
Ini
bukan untuk mengatakan, bahwa siswa tidak boleh mengalami kegagalan. Seperti
kita akan menemukan di diskusi kita tentang teori Lev Vygotsky dalam Bab 13,
kegiatan menantang lebih cenderung meningkatkan pertumbuhan kognitif dari yang
mudah, dan kesalahan yang tak terelakkan ketika siswa harus bergulat dengan
masalah sulit dan tugas. Tapi ketika siswa mengalami kegagalan terlalu sering,
baik dalam sekolah atau pada hubungan sosial-misalnya, ketika satu atau lebih
rekan-rekan berulang kali menggertak mereka di sekolah hal ini dengan cepat
dapat menjadi stimulus responses yang mengarah ke kontraproduktif
seperti conditioned responses sebagai ketakutan dan kecemasan. Respon
ini, setelah dikondisikan, dapat sangat tahan terhadap kepunahan dan dengan
demikian dapat mengganggu kemampuan siswa untuk belajar secara efektif untuk
tahun yang akan datang.
3.
Untuk memecahkan
kebiasaan buruk, pelajar harus mengganti satu koneksi S-R dengan yang lain.
Anda mungkin berpikir dari kebiasaan buruk berhubungan dengan stimulus-respon
yang tidak diinginkan. Satu behavioris awal (Guthrie, 1935) mengusulkan tiga
teknik cerdik khusus dirancang untuk menghentikan kebiasaan; kedua dan ketiga
mencerminkan aspek pendekatan counterconditioning yang dijelaskan
sebelumnya:
a.
Metode Kelelahan (Exhaustion method):
Salah satu cara untuk mematahkan kebiasaan stimulus-respon adalah untuk terus
menyajikan stimulus sampai individu terlalu lelah untuk menanggapi dengan cara
kebiasaan. Pada saat itu, respon baru akan terjadi dan kebiasaan S-R baru akan
terbentuk. Misalnya, ketika melanggar bucking bronco, pengendara persisten
(stimulus) tetap pada punggung kuda sampai kuda itu terlalu lelah untuk buck
lagi, membuat jalan bagi kebiasaan yang lebih diinginkan (misalnya, pengendara
sekarang dapat melakukan perilaku dengan berdiri). Demikian pula, jika seorang anak
terus mengganggu kegiatan kelas dengan perilaku tertentu (misalnya, lelucon,
melempar benda-benda di ruang), guru dapat menghilangkan perilaku dengan meminta
anak tersebut tetap tinggal di kelas setelah pulang sekolah untuk terus
mengulanginya sampai ia terlalu lelah untuk melanjutkan.
b.
Metode Threshold (Threshold
method): cara lain untuk melanggar kebiasaan adalah mulai dengan
menghadirkan stimulus sangat samar-samar, sehingga individu tidak menanggapinya
dengan cara kebiasaan. Intensitas dari stimulus tersebut kemudian meningkat
secara bertahap bahwa individu tetap tidak menanggapinya. Sebagai contoh,
ketika seorang anak memiliki kecemasan tes-dengan kata lain, ketika tes
stimulus mengarah ke respon kecemasan-guru mungkin menghilangkan kecemasan anak
dengan: pertama menyajikan tugas menyenangkan yang hanya menyerupai tes.
Seiring waktu, guru dapat menyajikan serangkaian tugas yang semakin meningkat (namun
secara bertahap) mulai memberikan semacam tes yang lebih berkualitas.
c.
Metode Ketidakcocokan (Incompatibility
method): Pendekatan ketiga adalah untuk menyajikan stimulus ketika
kebiasaan respon tidak dapat terjadi dan ketika lawan, atau tidak kompatibel,
respon akan terjadi. Contoh, bayangkan sebuah kelas yang sangat-prestasi
termotivasi siswa yang terlalu kompetitif dengan satu sama lain. Untuk
mengurangi semangat kompetitif mereka, guru mungkin membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok kecil dan menugaskan setiap kelompok tugas akademik yang
membutuhkan kerjasama bukan kompetisi (misalnya, mengembangkan argumen untuk
satu sisi dari masalah dalam debat kelas). Menetapkan nilai berdasarkan kinerja
kelompok daripada individu kinerja lebih lanjut harus meningkatkan kemungkinan
bahwa siswa akan bekerja sama lebih daripada bersaing. Dalam kondisi seperti
itu, perilaku kooperatif harus mengganti kompetitif perilaku (C. Ames, 1984; DW
Johnson & Johnson, 2009).
4.
Menilai pembelajaran berdasarkan
perubahan perilaku. Terlepas dari seberapa efektif aktivitas, kuliah, atau
materi pada kurikulum berpotensi, guru seharusnya tidak pernah menganggap bahwa
siswa belajar sesuatu kecuali mereka benar-benar mengamati adanya perubahan perilaku
siswa sebagai hasil dari instruksi. Hanya perubahan perilaku-misalnya, nilai
ujian yang lebih tinggi, meningkatan kinerja, keterampilan berinteraksi sosial
yang lebih tepat, atau belajar yang lebih baik menjadi kebiasaan- akhirnya dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi.
Ringkasan
Behaviorisme
meliputi sekelompok teori yang berbagi beberapa asumsi umum, termasuk
generalisasi prinsip-prinsip pembelajaran di seluruh spesies, pentingnya fokus
pada kejadian yang dapat diamati, dan sifat sebagian besar blank-slate
nature organisms. Awal behavioris bersikeras bahwa psikologi bisa menjadi
ilmu yang benar hanya jika didefinisikan sebagai perubahan perilaku belajar,
dan mereka hanya berfokus pada hubungan stimulus-respon. Hari ini, beberapa
behavioris membuat perbedaan antara belajar dan perilaku, dan beberapa percaya
bahwa hubungan antara stimuli dan tanggapan dapat lebih dipahami ketika faktor kognitif
juga dipertimbangkan.
Satu
terobosan peneliti kebiasaan perilaku adalah Ivan Pavlov, yang mengusulkan
bahwa tanggapan yang muncul sendiri diperoleh melalui proses Classical Conditioning. Classical Conditioning tersebut
terjadi ketika dua stimuli disajikan bersama-sama dalam waktu dekat. Salah
satunya adalah unconditioned stimulus (UCS) yang sudah memunculkan unconditioned
response (UCR). Stimulus kedua, melalui kerjasama dengan stimulus
berkondisi, mulai mendatangkan Tanggapan juga: Ini menjadi conditioned
stimulus (CS) yang membawa conditioned
response (CR). Tetapi jika conditioned
stimulus disajikan berkali-kali tanpa adanya unconditioned stimulus,
conditioned
response menurun dan akhirnya mungkin hilang
(punah). Namun demikian, mungkin muncul kembali setelah masa istirahat (spontaneous
recovery).
Setelah
organisme belajar untuk membuat conditioned
response karena adanya conditioned stimulus,
maka akan merespon dengan cara yang sama terhadap stimulus yang sejenis (generalisasi)
kecuali jika stimulus kedua telah berulang kali bedakan maka hal ini disebut stimulus discrimination.
Classically conditioned dapat berhubungan satu sama lain melalui proses Higher-Order Conditioning
dan sensory preconditioning; dalam kedua kasus, stimulus netral dapat
menjadi stimulus terkondisi (memunculkan respon terkondisi), tidak langsung
oleh hubungannya dengan stimulus berkondisi, tetapi secara tidak langsung dihubungkan
dengan stimulus lain baik akan dialami atau yang dimiliki sebelumnya telah
berpengalaman dalam hubungannya dengan UCS.
Pengkondisian
klasik menyediakan satu penjelasan tentang bagaimana manusia memperoleh respon
fisiologis tertentu (misalnya, peningkatan kepekaan terhadap nyeri), respons
emosional (misalnya, kecemasan), dan sikap (misalnya, suka atau tidak suka)
terhadap rangsangan tertentu. Hal ini memberikan dua strategi untuk
menghilangkan tanggapan tersebut yaitu: kepunahan dan counterconditioning
(yaitu, menggantikan yang tidak produktif pada hubungan S-R dengan yang lebih
produktif).
Diskusi
kita tentang behaviorisme menghasilkan beberapa implikasi pendidikan. Pertama,
aktif menanggapi dan praktek merupakan bahan penting dalam pembelajaran yang
efektif. Kedua, Classical Conditioning memiliki paradigma pentingnya yag
menekankan untuk membantu peserta didik mengalami subyek akademik dalam konteks
yang menyenangkan dibandingkan dengan emosi yang tidak menyenangkan. Ketiga,
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan (misalnya, melanggar kebiasaan
buruk atau menghindari pertumbuhan produksi situasi) harus dalam satu cara atau
melibatkan lain mengganti koneksi S-R yang ada dengan lebih produktif yang.
Akhirnya, guru dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi hanya ketika mereka
mengamati adanya perubahan perilaku siswa.