Saturday 2 April 2016

Otak Syaraf Pusat Manusia


System saraf manusia terdiri dari 2 kompenen utamayang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang yang merupakan pusat kordinasi. System saraf pusat menghubungkan apa yang kita rasakan (misalnya apa yang kita lihat, dengar, cium, kecap, dan rasa) dengan apa yang kita lakukan (misalnya bagaimana kita menggerakkan tangan dan kaki). System saraf perifer adalah system pengantar pesan, membawa informasi dari sel reseptor ke system saraf pusat dan di arahkan kembali ke berbagai bagian tubuh untuk menanggapi rangsangan tersebut. Sel saraf (neuron) menyediakan sarana bagi system saraf untuk mentransmisikan dan mengkordinasikan informasi. Anehnya neuron tidak langsung bersentuhan, mereka mengirim pesan kimia ke neuron terdekat melalui ruang kecil yang di sebut sinapsis.neuron juga bergantung pada sel lainnya yang dikenal sebagai sel glial. Mari kita melihat sifat dari masing-masing elemen kunci dari system saraf.
1.      Neuron
Neuron memainkan tiga peran sekaligus di tubuh manusia. Neuron sensorik membawa informasi masuk dari sel reseptor, lalu dikirimkan ke interneuron untuk diintergrasikan dan ditafsirkan sehingga menghasilkan “keputusan” lalu dikirim ke motor neuron yang mengirim pesan tentang bagaimana tubuh menanggapi pesan tersebut. Seperti yang anda duga neuron sensorik dan motoric terletak di system saraf perifer. Sebagian besar interneuron yang ditemukan terletak di system saraf pusat, terutama di otak. Neuron sering di sebut materi abu-abu karena warnanya, neuron bervariasi dalam bentuk dan ukuran tetapi memiliki beberapa fitur yang sama. Neuron memiliki tubuh sel (soma) yang berinti sel inti dan bertanggung jawab atas kesehatan sel. Selain itu mereka memiliki struktur seperti cabang dikenal sebagai dendrit, yang menerima pesan dari neuron lain. Mereka juga memiliki akson (seperti lengan) yang mentransmisikan informasi ke neuron tambahan (terkadang neuron memiliki lebih dari 1 akson). Ujung dari axon dapat bercabang berkali-kali dan ujungnya memiliki  tombol terminal yang mengandung zat kimia tertentu tapi untuk beberapa neuron banyak akson yang ditutupi dengan zat lemak putih yang disebut selubung myelin. Ketika dendrit neuron dirangsang oleh sel lain, dendrit menjadi bermuatan listrik. Dalam beberapa kasus neuron mengabaikan informasi tersebut karena muatan listriknya terlalu kecil. Tapi ketika muatan berada pada level tertentu (ambang eksistensi) neuron terbakar dan mengirim denyut listrik sepanjang akson untuk tombol terminal. Selubung myelin berfungsi untuk mempercepat informasi terhantarkan.
2.      Sinapsis
Ujung percabangan akson neuron yang menjangkau dendrit dari neuron lain (tetapi tidak bersentuhan). Tranmisi informasi dalam neuron adalah listrik sedangkan antar neuron dalam bentuk kimia. Saat impuls listrik bergerak ke bawah akson neuron, itu adalah sinyal bagi tombol terminal untuk melepaskan bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Mungkin kita pernah mendengar obat yang mengandung dopamine, epinefrin, norepinefrin, serotonin, asam amino atau peptide. Semua itu adalah neurotransmitter, seperti dopamine adalah neurotransmitter kunci yang secara aktif terlibat dalam kesadaran, perencanaan dan penghambatan prilaku yang tidak relevan.  Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya yang serius terkadang adalah hasil dari tingkat dopamine yang abnormal
3.      Sel Glial
Hanya sekitar 10% dari sel-sel di otak yang neuron.neuron tersebut mungkin 1 sampai 5 triliun sel glial (neuroglial) yang disebut materi putih karena warnanya. Sel glial memiliki banyak peran seperti “ahli gizi” yang mengontrol aliran darah ke neuron, “dokter” yang menangani infeksi dan luka, atau “kru pembersih” yang membuang zat yang tidak diinginkan di dalam otak. Dasar bangunan blok ini (neuron, sinapsis, dan sel glial) membuat kita mungkin untuk hidup seperti bernafas dan tidur, mengidentifikasi rangsangan yang kita hadapi seperti mengakui teman atau hewan peliharaan keluarga, merasakan emosi seperti merasa takut saat menghadapi bahaya, dan terlibat dalam banyak proses pikiran sadar seperti membaca, menulis memecahkan masalah matematika.
A.    STRUKTUR OTAK DAN FUNGSINYA
1.      Metode Dalam Penelitian Otak
a.       Studi dengan binatang, yang biasanya digunakan adalah mancit (karena memiliki kekebalan dan berbagai aspek lainnya yang mendekati manusia)
b.      Penelitian postmortem, bebrapa orang saat hidup mungkin bersedia mengorbankan otaknya untuk dijadikan bahan penelitian atau seseorang bersedia menyumbangkan otak keluarga mereka yang baru saja meninggal.
c.       Studi kasus dengan orang yang memiliki cidera otak, biasanya dilakukan dengan cara pengamatan saat mereka hidup dan dilanjutkan dengan postmortem setelah mereka meninggal
d.      Rekaman listrik, atau lebih dikenal dengan electroencephalograph(EEG) yaitu menempatkan elektroda di lokasi strategis di kulit kepala. Peneliti biasanya mengambil data dengan meminta subjek melakukan kegiatan tertentu.
e.       Neuro imaging, dengan kemajuan teknologi peneliti dapat mengambil gambar dari aliran darah atau tingkat metabolism di berbagai bagian otak.
Tak satupun dari metode ini sempurna, tikus tidak memiliki kecerdasan yang tinggi, otak manusia yang mati mengalami penurunan secara keseluruhan, cidera otak dapat mempengaruhi beberapa daerah otak, electroencephalograph tidak memberi tahu dimana letak berfikir terjadi dan neuroimaging melibatkan peralatan diagnosis mahal dan ketersediaannya terbatas hanya untuk penelitian dasar. Namun metode apapun setidaknya sedikit memberikan gambaran dan manfaat untuk penelitian selanjutnya.
2.      Bagian Otak
Tiga komponen utama otak adalah otak belakang, otak tengah dan otak depan. Otak belakang terletak dibagian bawah dari otak, terdiri dari struktur yang lebih kecil (medulla, pons dan otak kecil), otak belakang terlibat dalam proses fisiologi dasar yang membuat kita tetap hidup (bernafas, menelan, tidur, mengantuk, mengatur detak jantung dll. Otak kecil aktif terlibat dalam keseimbangan dan motoric yang kompleks (berjalan, bersepeda, bermain badminton dll). Selanjutnya adalah otak tengah yang memiliki peran penting pendukung dalam penglihatan (membantu mengontrol dan mengkordinasikan mata). Formasi paling penting dari otak tengah adalah formasi reticular yaitu kunci dari perhatian dan kesadaran, dapat mengingatkan kita terhadap rangsangan potensial yang penting terhadap reseptor tubuh. Terakhir adalah otak depan yaitu tempat terjadinya kegiatan mental yang kompleks. Bagian paling atas adalah cortex yang tampak seperti 2 bagian yang sama tetapi bertolak belakang (seperti cermin). Para ahli membagi cortex menjadi 4 bagian, yaitu
1.      Lobus frontal
Terletak didepan dan atas cortex, menjadi tempat pemikiran sadar kita, bertanggung jawab untuk aktivitas manusia yang kompleks termasuk Bahasa, perhatian berkelanjutan, perencanaan dll. Selain itu sebagai penghambat pikiran dan tindakan yang tidak relevan dan tidak pantas. Sangat depan didekat dahi disebut korteks prefontal sangat penting dalam kesadaran dan pengendalian fikiran.
2.      Lobus parietal
Terletak di bagian punggung atas korteks, bertugas menerima dan menginterpretasikan informasi (suhu, tekanan, tekstur dan rasa sakit). Terlibat juga dalam memperhatikan, pengolahan suara kata dan berfikir tentang karakteristik spasial dari objek atau peristiwa.
3.      Lobus oksipital
Terletak pada sisi paling belakang, bertanggung jawab untuk menafsirkan dan mengingat informasi visual
4.      Lobus temporal
Terletak pada sisi belakang telinga, berperan dalam menafsirkan dan mengingat informasi pendengaran yang kompleks, juga tampak penting dalam mengingat informasi untuk jangka panjang terutama untuk konsep dan pengetahuan dunia umum.
Berikut adalah beberapa bagian yang perlu diketahui dari otak depan yang terletak di dalam dan dibawah kortek
·         System limbic, sekelompok struktur yang penting untuk belajar, mengingat, emosi dan motivasi.
·         Struktur hippocampus, erat terlibat dalam perhatian dan pembelajaran terutama yang kita sadari belajar dan mengingat.
·         Amigdala, menonjol dalam emosi terutama yang tidak menyenangkan seperti takut, stress marah dll
·         Thalamus, terletak di tengah otak berfungsi menerima informasi yang masuk dari berbagai neuron sensorik dan mengirimkanna ke daerah yang sesuai dari korteks. Berperan dalam gairah, perhatian dan ketakutan
·         Hipotalamus, terletak dibawah thalamus, mengatur kegiatan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup seperti pernafasan, mengatur suhu tubuh, merasa lapar dan haus, kawin, pertempuran dan melarikan diri dari bahaya.
3. Belahan Kiri Dan Belahan Kanan
Dalam beberapa hal otak kiri dan otak kanan memiliki spesialisasi yang berbeda, anehnya otak kiri bertanggung jawab  mengendalikan sisi kanan tubuh dan sebaliknya. Untuk kebanyakan orang otak kiri tampaknya bertanggung jawab atas bahasa, dengan 2 bidang yang dikenal sebagai area broca dan wernickle, menjadi pemain utama dalam produksi ujaran dan pemahaman Bahasa. Membaca dan keterampilan perhitungan matematis juga tampaknya sangat tergantung dari otak kiri. Sebaliknya otak kanan lebih dominan dalam visual dan pengolahan spasial. Secara umum sisi kiri lebih tepat untuk menangani rincian, sedangkan sisi kanan lebih cocok untuk melihat dan mensintesiskan keseluruhan. Tidak ada yang disebut sebagai left thinker ataupun right thinker, 2 belahan otak yang kita miliki sudah terintegrasi dengan sangat baik. Contoh otak kiri menangani sintaks dan arti kata, sedangkan otak kanan mampu mempertimbangkan beberapa arti kata dan maengambil konteksnya sehingga kita bias mendeteksi sarkasme, ironi, metafora dan permainan kata.
Lelucon hanya bekerja jika otak kiri dan otak kanan bekerja secara bersamaan. Otak kiri bertanggung jawab atas Bahasa lebih dari 90% orang bertangan kanan tetapi hanya 60% orang bertangan kiri. Terkadang satu daerah bias mengambil alih fungsi daerah lain. Sebagai contoh jika sebelum usia 1 tahun mengalami kerusakan pada bagian kiri otaknya dan dioperasi untuk di hilangkan, bagian kanan mengambil alih kemampuan Bahasa untuk membantu anak menjadi normal dalam berbahasa.
4.Keterkaitan Struktur Otak
Kedua belahan otak biasanya bekerja sama untuk memahami dan menanggapi dunia, ingat juga bahwa setiap neuron memiliki ratusan sinapsis dengan neuron lain. Semakin baik kondisi setiap bagian tersebut maka akan membantu proses belajar menjadi lebih baik, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada intinya belajar atau berfikir tentang hampir apa saja (bahkan satu katapun) membutuhkan proses distribusi melewati banyak bagian dari otak.
B.     PERKEMBANGAN OTAK
Sebuah mitos yang tersebar menyebutkan bahwa kedua otak sepenuhnya matang dalam beberapa tahun pertama kehidupan sehingga banyak orang tua membom bardir anaknya dengan berbagai stimulus seperti belajar biola, membaca, kelas seni dan lain sebagainya bahkan sebelum anaknya mencapai umur TK. Walaupun banyak perkembangan otak terjadi sebelum kelahiran dan di beberapa tahun pertama setelah lahir, tapi otak terus berkembang hingga dewasa awal. Sebaiknya stimulus di beberapa tahun pertama kehidupan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
1.      Pengembangan Pranatal
Otak pertama kali muncul berbentuk tabung di 25 hari setelah pembuahan, lalu tabung tersebut membentuk kantong sehingga muncul 3 ruang yaitu otak depan, tengah dan otak belakang. Neuron sangat cepat terbentuk di dalam tabung tersebut, sekitar 50.000 samapai 100.000 sel baru per detik di minggu ke 5-20. Neuron bermigrasi ke berbagai lokasi ditarik oleh berbagai bahan kimia dan diukung oleh sel glia. Saat mereka mencapai tujuan, mereka mengirim dendrit dan akson untuk terhubung satu sama lain. Mereka yang terhubung mulai mengambil fungsi tertentu, sedangkan yang tidak cenderung mati.
2.      Perkembangan di Bayi dan Anak Usia Dini
Antara kelahiran dan usia 3 tahun, ukuran otak lebih besar tiga kali lipat. Korteks serebral adalah bagian otak yang telah dewasa pada saat lahir, kita akan banyak melihat kemajuan dalam berfikir, penalaran anak dan pengendalian diri. Berikut adalah ciri perkembangan otak pada tahun awal
a.      Synaptogenesis
Sinapsis pada neuron sudah terbentuk baik sebelum lahir. Tapi tak lama setelah kelahiran, tingkat pembentukan sinapsis meningkat drastic. Neuron menyebarkan dendrit baru ke segala arah dan melakukan kontak dengan banyak neuron lainnya. Berkat proses ini anak-anak mempunyai sinapsis lebih banyak dari orang dewasa. Synaptogenesis akan berhenti tetapi akan berbeda-beda waktunya untuk tiap bagian otak.
b.      Diferensiasi
Sebagai neuron membentuk sinapsis dengan satu sama lain, mereka juga mulai mengambil fungsi tertentu sehingga neuron menjadi spesialis.
c.       Pemangkasan sinaptik
Terjadi karena sinapsis tidak berguna dan tidak relevan, bahkan suatu system dibentuk untuk menjamin pemangkasan synaptic terjadi. Dengan mengirim pesan ke neuron lain, menyebabkan penerima informasi mengeluarkan zat yang menjaga kehidupan mereka yang biasa disebut dengan factor trofik. Jika neuron secara teratur menerima factor trofik dari sumber yang sama, mereka membentuk sinaps yang stabil dengan sumber tersebut. Jika suatu neuron tidak mendapatkan factor trofik dari neuron lain, maka mereka akan mati.
d.      Mielinasi
Proses terselubunginya aksos neuron oleh selubung myelin. Beberapa mielinasi dimulai menjelang akhir periode prenatal. Mielinasi meningkatkan kapasitas otak untuk menanggapi dunia dengan cepat dan efisien.
3.      Perkembangan di masa Anak, Remaja, dan Dewasa
Mielinasi berlanjut hingga ke usia dua puluhan, lobus frontal menunjukan bukti pematangan yang cukup pada masa remaja akhir atau dewasa awal, yang memungkinkan meningkatnya perhatian, perencanaan, dan control impuls. Dengan pubertas dating juga perubahan kadar horon anak muda (estrogen dan testosterone) yang mempengaruhi pematangan struktur otak dan memungkinkan peningkatan produksi dan efektivitas neurotransmitter. Tingkat neurotransmitter yang tidak normal juga dapat menyebabkan kerusakan di otak (kasus “A” di awal)
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan otak
1.      Nutrisi
Nutrisi dapat mempengaruhi produksi dan mielinasi neuron dan pertumbuhan sel glial.
2.      Lingkungan yang tercemar
Timbal, merkuri, pestisida dan sebagainya memiliki dampak yang signifikan terutama selama periode  prenatal dan dalam beberapa tahun pertama setelah lahir.
3.      Alcohol
Calon ibu yang mengkonsumsi alcohol secara berlebihan selama kehamilan menyebabkan kemungkinan anak mereka mengembangkan sindrom alcohol janin, yaitu kondisi yang ditandai dengan ciri khas wajah, koordinasi motoric yang buruk, Bahasa yang tertunda, dan cacat intelektual
4.      Pengalaman
Pengalaman dapat juga membuat perbedaan, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang hangat akan lebih baik perkembangannya di bandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang kasar.
5.      Latihan fisik
Latihan fisik juga dapat merangsang pertumbuhan neuron.
6.      Kesempatan untuk belajar hal baru
Seperti memainkan alat music, membaca atau menyulap  memberikan hasil beda yang nyata dalam ukuran, organisasi, atau fungsi struktur otak yang relevan


Terdapat periode dimana otak dapat berkembang dengan sangat baik, sebagai contoh perhatikan penemuan terbaik ini.
·         Mereka yang mulai pelatihan music sebelum usia 10 tahun menunjukkan aktivasi yang lebih besar dibagian tertentu dari otak mereka daripada yang memulai lebih tua
·         Dalam persepsi virtual, anak-anak yang dilahirkan dengan katarak akan kemungkinan bias melihat normal jika pembedahan dilakukan diusia 2 tahun dibandingkan yang lebih tua akan cenderung buta walaupun dioperasi.
·         Dalam hal Bahasa, anak-anak pada tahun awal yang kurang terkena paparan Bahasa akan sulit berkembang dan sulit mengolah Bahasa dikemudian hari.
Tapi beberapa ahli meragukan adanya periode dimana otak berkembang dengan baik terhadap semua keterampilan dan domain pengetahuan, seringkali orang menjadi ahli dalam topic atau keterampilan yang tidak mereka lakukan hingga mereka remaja atau dewasa. Sebagai contoh saya tidak belajar mengemudi sampai saya berusia 16 tahun, tidak belajar psikologi sampai saya mencapai perguruan tinggi tapi dengan waktu dan latihan saya bisa menguasai dengan cukup mahir hal-hal tersebut.
Experience-Expectant versus Experience-Dependent Plasticity
Keterampilan yang dimiliki manusia sejak ribuan tahun (persepsi visual, Bahasa dan sebagainya) disebut Experience-Expectant. Walaupun manusia bisa membedakan Antara suara pidato dan suara disekitarnya, secara alami manusia belajar menghiraukan suara lain dan focus kepada suara pidato. Experience-Dependant adalah pengalaman atau keterampilan unik sebagai hasil dari budaya dan masyarakat social di sekitar orang tersebut. Keterampilan ini muncul ketika mereka hidup di kondisi lingkungan tersebut dalam waktu yang cukup lama dan mungkin muncul di hampir setiap usia, sebagai contoh bagaimana cara menempuh jalan dari rumah hingga ke bangk dilingkungan kita yang baru. Kembali sedikit kebelakang, ini sedikit memberi jawaban tambahan mengenai kondisi kritis atau kondisi terbaik perkembangan otak.
Untuk Apa Perluasan Otak Dipersiapkan, Untuk Mengetahui Atau Untuk Belajar Sesuatu ?
Mari kita lihat sekali lagi di Bahasa. Berbicara dan memahami Bahasa adalah prestasi ajaib bagi anak-anak, mereka tidak hanya harus menguasai gerakan motoric halus yang terlibat dalam memproduksi berbagai konsonan dan vocal tetapi juga puluhan ribu arti kata ditambah struktur sintaksis yang begitu banyak dan beragam. Bagaimana anak menguasai Bahasa secepat itu merupakan salah satu misteri terbesar dari perkembangan anak. Pertimbangkan juga penemuan ini dari penelitian bayi.
·         Dalam 24 jam, bayi memiliki beberapa kemampuan untuk membedakan Antara benda yang dekat dengan mereka dibandingkan benda yang jauh. Seolah-olah mereka dapat menilai jarak jauh sebelum mereka memiliki banyak kesempatan untuk belajar tentang jarak
·         Bayi berusia 1 atau 2 hari dapat meniru ekspresi wajah, mengerucutkan bibir mereka, membuka mulut mereka atau mencuatkan lidah mereka. Terdapat neuron cermin yang dapat mencatat dan  mengingat ketika bayi melakukan tindakan tertentu atau ketika mereka melihat orang lain melakukan hal itu.
·         Dalam 3 atau 4 bulan, bayi menunjukkan tanda kejutan ketika benda padat bertabrakan, ketika suatu objek dilempar diudara.
C.    BASIS FISIOLOGI DARI BELAJAR
Banyak teori  percaya bahwa dasar untuk belajar terletak pada perubahan interkoneksi antara neuron, khususnya penguatan dan pelemahan sinapsis yang ada atau pembentukan yang baru. Beberapa peneliti menemukan bahwa pembentukan neuron baru (neurogenesis) berlangsung seumur hidup dalam bagian tertentu dari hippocampus dan mungkin juga daerah tertentu dari frontal dan parietal lobus. Mempelajari hal baru berguna untuk meningkatkan tingkat keberlangsungan hidup dan pematangan neuron muda, tanpa pengalaman seperti itu makan neuron ini akan mati. sel glial dikenal sebagai astrosit memiliki peran yang sama penting dengan neuron (bahkan mungkin lebih penting) dalam belajar dan mengingat. Jumlah astrosit jauh melebihi jumlah neuron, memiliki zat kimia untuk berkomunikasi dengan astrosit lainnya dan dengan neuron lain, dan juga tampaknya memiliki control atas apa yang neuron lakukan ataupun tidak dan menentukan sebanyak apa neuron berkomunikasi dengan neuron lainnya. Otak yang normal memproduksi banyak astrosit sepanjang hidup manusia. Adapun jawaban untuk dimana proses pembelajaran terjadi adalah di berbagai tempat. Lobus frontal yang aktif saat kita harus memperhatikan dan memikirkan informasi baru, dan lobus dari korteks mungkin aktif untuk menafsirkan informasi tersebut. Hippocampus tampaknya menjadi tokoh sentral dalam proses pembelajaran, menyatukan informasi yang didapan dari berbagai bagian dari otak untuk membentuk kemudian mengkonsolidasikan dengan kenangan lama. Dan tetangga dari hippocampus yaitu amygdala, kemungkinan berperan dalam kenangan emosional yang anak muda bentuk.

D.    PENELITIAN OTAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN
·         Hilangnya beberapa sinapsis baik itu diinginkan atau tidak, rupanya adalah upaya untuk melestarikan sebagian besar dari mereka. lebih lebih dititik beratkan pada keuntungan kehilangan sinapsis karena akan meningkatkan efisiensi otak. Kemajuan pesat dalam belajar bahkan terjadi setelah beberapa sinapsis hilang atau rusak.
·         Banyak lingkungan membina perkembangan otak normal. Misalnya untuk mendapatkan penglihatan teropong yang normal, anak membutuhkan input visual yang seimbang untuk kedua mata. Dapat dikatakan perkembangan otak akan normal jika stimulus yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
·         Tahun-tahun awal sangat penting untukbelajar, tetapi begitu juga dengan tahun-tahun berikutnya. Memang anak yang mengikuti kegiatan pengayaan akan lebih meningkat dari anak yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Namun peningkatan tersebut akan berkurang dari waktu kewaktu bahkan akan hilang sama sekali kecuali anak tersebut terus merangsang pengalaman selama ditahun sekolah.
·         Tidak ada yang namanya mengajar untuk otak kanan maupun otak kiri. Seperti yang kita ketahui kedua belahan otak bekerja sama secara intens dihampir semua kegiatan berfikir dan belajar.
·         Dalam hal periode terbaik perkembangan otak, kesempatanakan tetap ada setidaknya selama celah masih ada. Periode terbaik memberitahu kita waktu terbaik untuk kemampuan tertentu dibina, tetapi tidak memberitahu kita bahwa itu adalah satu-satunya waktu.
·         Penelitian otak membantu kita memperbaiki teori belajar, tetapi tidak memberitahu kita tentang apa yang diajarkan dan bagaimana cara terbaik mengajarkannya.


BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN


Anda mungkin mengatakan bahwa saya memiliki "sesuatu" tentang lebah. Setiap kali lebah terbang di dekat saya, saya berteriak, melambaikan tangan saya panik, dan berlari-lari seperti wanita liar. Ya, ya, aku tahu, aku akan lebih baik jika aku tetap diam, tapi entah kenapa aku tidak bisa mengendalikan diri. Reaksi berlebihan saya kepada lebah mungkin hasil dari beberapa sengatan lebah menyakitkan saya terima sebagai seorang anak kecil.
Salah satu cara untuk menjelaskan bagaimana orang mengembangkan respon sukarela terhadap rangsangan tertentu, seperti reaksi takut saya untuk lebah, adalah teori pembelajaran yang dikenal sebagai Classical Conditioning. Materi berikut ini akan membahas tentang (1) asumsi dasar behavioristik; (2) classical conditioning; (3) model classical conditioning; (4) classical conditioning dalam pembelajaran mausia; (5) fenomena umum dalam classical conditioning; (6) kognitif dalam classical conditioning; (7) mengubah respon yang tidak diinginkan; (8) implikasi pendidikan oleh para ahli behavioristik dan classical conditioning; dan (9) ringkasan.

1.    Asumsi Dasar Behaviorisme
Penelitian awal pembelajaran sangat bergantung pada introspeksi diri, metode di mana orang diminta untuk "melihat" di dalam kepala mereka dan menjelaskan apa yang mereka pikirkan. Namun pada awal 1900-an, beberapa psikolog berpendapat bahwa refleksi diri seperti itu sangat subjektif dan belum tentu akurat, pertengkaran diperkuat oleh para peneliti kemudian (misalnya, Nisbett & Wilson, 1977; Zuriff, 1985). Dimulai dengan upaya ahli fisiologi Rusia Ivan Pavlov dan karya psikolog Amerika Edward Thorndike, pendekatan yang lebih obyektif untuk mempelajari timbulnya pembelajaran. Para peneliti ini melihat perilaku sebagai sesuatu yang dapat mereka lihat dengan mudah, digambarkan secara objektif, serta diukur. Oleh karena itu gerakan behavioris lahir.
Ahli Behavioristik tidak selalu setuju pada proses tertentu yang menjelaskan pembelajaran. Namun banyak dari mereka secara historis memiliki asumsi dasar tertentu:
a.    Prinsip pembelajaran harus berlaku sama terhadap prilaku yang berbeda dan berbagai jenis hewan. Ahli behavioristik beranggapan bahwa manusia dan hewan belajar dengan cara yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dan hewan memiliki kemampuan yang sama. Sebagai hasil dari asumsi ini, para ahli behavioristik sering menerapkan prinsip-prinsip yang mereka miliki kedalam pembelajaran manusia. Padahal, prinsip-prinsip tersebut berasal dari penelitian dengan menggunakan hewan, seperti tikus dan merpati. Dalam diskusi mereka tentang pembelajaran, mereka sering menggunakan istilah bentuk organisme untuk merujuk secara umum terhadap kelompok spesies apapun, manusia dan bukan manusia adalah serupa.

b.    Proses pembelajaran dapat diteliti secara obyektif ketika fokus penelitian ada pada stimulus dan respon. Ahli behavioristik percaya bahwa psikolog harus meneliti pembelajaran secara ilmiah dan objektif. Dalam banyak hal, ahli kimia dan ahli fisika mempelajari fenomena di dunia fisik. Dengan berfokus pada dua hal mereka dapat mengobservasi dan mengukur, lebih khusus, dengan berfokus pada stimulus dilingkungan dan respon yang organisme buat terhadap respon mereka, ahli psikolog dapat menjaga objektivitas. Prinsip pembelajaran ahli behavioristik sering menggambarkan hubungan antara stimulus (S) dan respon (R); oleh karena itu, behavioristik kadang-kadang disebut psikologi S-R.

c.    Proses internal sebagian besar dikeluarkan dari penelitian ilmiah. Proses internal yang dimaksud adalah motivasi, pikiran, dan lainnya. Banyak ahli behavioristik percaya bahwa kita tidak bisa mengamati secara langsung dan mengukur proses mental internal. Oleh karena itu, kita hendaknya menyingkirkan proses dari penyelidikan penelitian, serta dari penjelasan tentang bagaimana pembelajaran dilaksanakan (misalnya, Kimble, 2000; JB Watson, 1925). Ahli Behavioristik menggambarkan suatu organisme seperti kotak hitam, rangsangan menimpa kotak dan tanggapan timbul dari itu, tetapi dengan hal-hal yang terjadi di dalamnya yang tersisa misteri.
Tidak semua ahli behavioristik menggunakan perspektif kotak hitam secara ketat. Namun, beberapa bersikeras bahwa faktor internal organisme (O), seperti motivasi dan kekuatan hubungan antara stimulus dan respon, juga penting dalam memahami pembelajaran dan perilaku (misalnya, Hull, 1943, 1952. Teori para ahli behavioristik yang baru kadang-kadang menyebutnya teori S-O-R (stimulus-organisme-respons) daripada teori S-R. Terutama dalam beberapa dekade terakhir, beberapa behavioris telah menegaskan bahwa mereka dapat sepenuhnya memahami kedua perilaku manusia dan hewan hanya ketika mereka mempertimbangkan proses kognitif serta peristiwa lingkungan (misalnya, Gereja RM, 1993; DeGrandpre, 2000; Rachlin, 1991; Wasserman, 1993).

d.   Belajar melibatkan perubahan perilaku berupa perubahan jangka panjang dalam representasi mental atau hubungan. Sebaliknya, ahli behavioristik secara tradisional mendefinisikan pembelajaran sebagai perubahan perilaku. Dan setelah semua, kita dapat menentukan pembelajaran yang telah terjadi hanya ketika kita melihatnya tercermin dalam tindakan seseorang.
Para ahli behavioristik semakin sering membawa faktor kognitif ke dalam gambar, banyak yang mundur dari definisi pembelajaran berbasis perilaku. Sebaliknya, mereka memperlakukan belajar dan perilaku sebagai entitas yang terpisah, meskipun terkait. Sejumlah psikolog telah menyarankan supaya beberapa hukum ahli behavioristik yang lebih tepat diterapkan untuk memahami apa yang mempengaruhi kinerja dengan mempelajari tingkah laku, bukan apa yang mempengaruhi belajar itu sendiri (misalnya, R. Brown & Herrnstein, 1975; WK Estes, 1969; Herrnstein, 1977; B. Schwartz & Reisberg, 1991).

e.    Makluk hidup dilahirkan diumpamakan seperti papan tulis kosong. Secara historis, banyak ahli behavioristik berpendapat bahwa, selain dari naluri spesies tertentu (misalnya, sarang burung) dan dan cacat biologis (misalnya, penyakit mental pada manusia), makhluk hidup tidak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Sebaliknya, mereka memasuki dunia sebagai "batu tulis kosong" (atau, dalam bahasa Latin, tabula rasa) dimana pengalaman lingkungan secara bertahap "tertulis." Karena setiap makhluk memiliki seperangkat unik pengalaman lingkungan, demikian juga, itu akan diperoleh oleh dirinya sendiri sendiri sebagai seperangkat perilaku yang unik.

f.     Belajar sebagian besar merupakan hasil dari kejadian lingkungan. Daripada menggunakan pembelajaran berjangka/  berskala, ahli behavioristik sering berbicara tentang pengkondisian: makhluk hidup dikondisikan oleh peristiwa lingkungan. Bentuk pasif kata kerja ini diartikan, banyak ahli behavioristik berkeyakinan bahwa ‘belajar adalah hasil dari pengalaman seseorang, pembelajaran sering terjadi terhadap makhluk hidup dengan cara diluar kendali makhluk hidup.
Beberapa ahli behavioristik terdahulu, seperti BF Skinner, Mereka berpendapat bahwa jika kita memiliki pengetahuan lengkap tentang pengalaman masa lalu makhluk hidup dan keadaan lingkungan saat ini, serta pengetahuan tentang kecenderungan makhluk hidup yang mungkin mewarisi cara berperilaku dengan cara tertentu, kita akan dapat memprediksi tindakan makhluk hidup berikutnya dengan akurat. Banyak ahli behavioristik masa kini tidak berpikir dalam cara tersebut. Dalam pandangan mereka, perilaku makhluk hidup mencerminkan tingkat keragaman bahwa hubungan stimulus-respon dan genetika saja tidak bisa menjelaskannya (R. Epstein, 1991; Rachlin, 1991). Melihat bagaimana makhluk hidup sebelumnya belajar untuk menanggapi rangsangan yang berbeda tentu dapat membantu kita memahami mengapa orang dan hewan lainnya saat ini berperilaku seperti yang mereka lakukan, tapi kita tidak akan pernah bisa memprediksi tindakan mereka dengan kepastian 100%.

g.    Teori yang paling berguna sangat sederhana. Menurut para ahli, kita harus menjelaskan pembelajaran tentang semua perilaku, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Asumsi ini mencerminkan pilihan yang lebih sederhana (ringkas) dalam menjelaskan pembelajaran dan perilaku. Contoh: Classical Conditioning.

2.    Classical Conditioning
Pada awal 1900-an, dalam upaya untuk lebih memahami sifat pencernaan, ahli fisiologi Rusia Ivan Pavlov melakukan serangkaian percobaan yang berkaitan dengan air liur pada anjing. Cara yang ia lakukan adalah dengan membuat sayatan di mulut anjing (yang memungkinkan pengumpulan air liur anjing dalam cangkir kecil). Pavlov memperhatikan bahwa setelah beberapa kali perlakuan ini diberikan, anjing akan mulai mengeluarkan air liur bersamaan dengan asisten lab memasuki ruangan dengan daging, meskipun anjing belum melihat atau mencium bau daging. Rupanya, anjing telah belajar bahwa pintu masuk lab asisten berarti bahwa makanan akan datang. Pavlov mengabdikan selama bertahun-tahun untuk meneliti secara sistematis tentang proses belajar ini, Ia akhirnya meringkas penelitiannya ini dalam buku AC Reflexes (Pavlov , 1927).
Pavlov pada mulanya mengamati tentang:
a.    Pavlov pertama kali mengamati apakah air liur anjing merespon stimulus-stimulus tertentu, misalnya cahaya, suara garpu tala, atau bunyi bel. Lalu, Pavlov menggunakan bunyi bel sebagai stimulus. Seperti yang kita bayangkan, anjing tidak dapat menemukan sumber bunyi bel, dan tidak menumbuhkan selera makan. Oleh karena itu anjing tidak mengeluarkan air liur.
b.    Pavlov membunyikan belnya lagi, lalu diikuti dengan memberikan bubuk daging. Anjing kemudian mengeluarkan air liur. Pavlov melakukan hal yang sama beberapa kali. Anjing selalu mengeluarkan air liur setiap kali hal ini dilakukan.
c.    Pavlov membunyikan bel tanpa menyajikan daging. Namun, anjing mengeluarkan air liur. Hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman; para ahli behavioristik menganggap bahwa telah terjadi proses belajar.

Fenomena yang diamati oleh Pavlov kini dikenal sebagai Classical Conditioning. Mari kita analisa/ telaah tiga langkah dalam penelitian Pavlov, yaitu:
a.    Stimulus netral (Neutral Stimulus/ NS) yang dapat berpengaruh harus diidentifikasi. Rangsangan yang tidak berpengaruh dicatat. Berdasarkan kasus anjingnya Pavlov, bunyi bel awalnya adalah NS yang tidak mendapatkan tanggapan berupa air liur.
b.    NS harus diberikan sebelum stimulus kedua. Stimulus kedua disebut dengan stimulus tidak berkondisi (Unconditioned Stimulus / UCS). Respon terhadap rangsangan kedua dinamakan dengan respon tidak berkondisi (Unconditioned Response/ UCR). Hal ini disebabkan karena organisme merespon rangsangan tanpa syarat, tanpa harus belajar untuk melakukannya. Pada kasus anjingnya Pavlov, bubuk daging adalah UCS. Respon anjing dengan mengeluarkan air liur disebut dengan UCR.
c.    Rangsangan yang pada mulanya netral menjadi tidak netral lagi karena dapat memberikan rangsangan. Artinya, NS menjadi CS untuk setiap organisme yang telah belajar tentang respon berkondisi (CR). Dalam penelitian Pavlov, setelah beberapa pasangan dengan daging, bel menjadi stimulus berkondisi itu, dengan sendirinya, menimbulkan respon terkondisi dari air liur.

Penelitian Pavlov tentang Classical Conditioning kemudian berlanjut setelah penelitian awal tersebut, dan banyak penemuannya diterapkan dalam spesies lainnya termasuk manusia. Mari kita perhatikan tentang proses dari Classical Conditioning dan beberaca contoh bagaimana hal ini dapat terjadi dalam proses belajar manusia.

3.    Model Classical Conditioning
Classical Conditioning telah diterapkan dalam banyak spesies, misalnya pada bayi manusia (Boiler, 1997; Lipsitt& Kaye, 1964; Reese & Lipsitt, 1970), janin manusia yang masih dalam kandungan (Macfarlane, 1978), laboratorium tikus (Cain, Blouin, & Barad, 2003), ikan pelangi (Nordgreen, Janczak, Hovland, Ranheim, & Horsberg, 2010), dan siput (Samarova dkk, 2005). Penerapan Classical Conditioning telah berkembang dalam berbagai binatang.

Tabel 3.1
Analisis Classical Conditioning Tentang Bagaimana Anjing Pavlov Belajar

Langkah 1: NS (bel) → (tidak ada respon)
Langkah 2: NS (bel) + UCS (daging) → UCR (air liur)
Langkah 3: CS (bel) → CR (air liur)

Seperti ilustrasi penelitian Pavlov, Classical Conditioning biasanya terjadi ketika dua buah stimulus diberikan pada saat yang hampir bersamaan. Salah satu stimulus merupakan UCS. UCS mendapatkan respon berupa UCR. stimulus kedua juga mendapatkan respon. Dalam banyak kejadian, suatu respon dapat terjadi dengan cepat. Namun ada pula yang baru dapat memberikan respon bila diberikan stimulus berkali-kali (Rascola, 1988).
Classical Conditioning paling sering muncul ketika CS diberikan beberapa saat sebelumnya  UCS. Untuk alasan ini, beberapa ahli psikologi menggambarkan bahwa Classical Conditioning sebagai bentuk pembelajaran dengan memberikan sebuah symbol/ tanda. Dengan memberikan yang pertama, CS memberikan tanda bahwa UCS akan datang. Beberapa anjingnya Pavlov mungkin telah belajar bahwa bunyi bel mengindikasikan bubuk daging yang sangat lezat akan datang.
Respon lain secara tidak sengaja akan timbul seiring dengan Classical Conditioning. Respon tersebut tidak dapat dikontrol untuk tidak terjadi. Ketika kita mengatakan bahwa stimulus akan membawa respon, ini berarti bahwa stimulus akan membawa respon secara otomatis. Dalam banyak kejadian respon terkondisi mirip dengan respon tidak terkondisi, dengan dua hal yang berbeda terutama stimulus yang memunculkan respond an kekuatan respon itu sendiri. Namun, CR sedikit berbeda dan berlawanan. UCR (misalnya kecanduan obat). Tapi, respon terkondisi memungkinkan makhluk hidup untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri untuk respon tak terkondisi yang akan muncul.

4.    Classical Conditioning dalam pembelajaran Manusia
Kita dapat menggunakan teori Classical Conditioning untuk membantu kita memahami bagaimana manusia belajar tentang berbagai response yang terjadi tanpa dapat dikontrol, terutama respon yang berhubungan dengan fungsi psikologi dan emosi. Misalnya, manusia tidak mau memakanan makanan tertentu karena mereka menganggap makanan tersebut dapat menyebabkan sakit perut (Garb & Stunkard, 1974; Logue, 1979). Penggambarannya yaitu, setelah saya menghubungkan rasa saus salad mentimun (CS) dengan rasa mual yang saya alami ketika sedang hamil (UCS), menyebabkan saya merasa enggan untuk mencicipi saus mentimun selama beberapa tahun (CR).
Classical Conditioning juga dapat menjelaskan beberapa ketakutan dan phobia yang dialami manusia (Mineka & Zinbarg, 2006). Misalnya, mungkin phobia saya terhadap lebah dapat dijelaskan dengan fakta bahwa lebah (CS) dikatakan memiliki sengatan yang menyakitkan (UCS), sehingga saya menjadi semakin takut (CR) terhadap serangga yang jahat. Dalam hal yang sama, orang-orang yang digigit oleh anjing tertentu akan menjadi takut terhadap jenis anjing tersebut, atau bahkan terhadap semua jenis anjing.
Mungkin, contoh yang paling banyak dikenal dalam Classical Conditioning adalah rasa takut terhadap beberapa hewan. Dalam hal ini adalah kasus dari “Albert kecil”. Albert kecil adalah bayi yang belajar rasa takut terhadap tikus putih melalui prosedur yang dilakukan oleh John Watson dan Rosalie Rayner (1920). Albert menjadi marah. Padahal Albert, anak kecil yang berumur 11  bulan, jarang menangis dan merasa takut. Suatu hari, Albert melihat tikus putih. Ketika dia mengulurkan tangannya dan menyentuh tikus putih tersebut, batangan baja dibelakangnya dipukul sehingga menimbulkan suara yang keras dan tidak menyenangkan. Kemudian, dia mengulurkan tangan lainnya dan menyentuh tikus putih tersebut lagi. Baja batang tersebut dipukul lagi. Setelah lima kali kejadian, tikus sebagai CS dan suara keras sebagai UCS, Albert benar-benar takut dengan tikus. Setiap kali dia melihat tikus dia akan menangis secara histeris dan merangkak secepatnya. Watson dan Rayner melaporkan bahwa Albert akan merespon rasa takut dengan cara yang sama terhadap kelinci, anjing, mantel kulit anjing laut, wool katun, dan topeng Santa Clause dengan jenggot. Meskipun tidak ada yang dipasangkan dengan suara yang mengejutkan (Watson dan Rayner tidak pernah memperbaiki ketakutan Albert. Untungnya, standar etika dari Asosiasi Psikologi Amerika sekarang melarang hal tersebut).
Takut gagal merupakan contoh lain respon dari Classical Conditioning. Dalam beberapa kasus, orang yang memiliki rasa takut gagal yana sangat besar mungkin memiliki pengalaman kegagalan yang tidak menyenangkan. Mungkin, mereka menganggap kegagalan akan mendapatkan hukuman yang tidak menyenangkan berupa kemarahan orang tua atau ejekan teman sekelas. Kadang-kadang kegagalan merupakan konsekuensi alami dari mencoba hal-hal baru baik di sekolah, di rumah, atau dimanapun. Guru dan orang tua harus berhati-hati, kegagalan tidak menjadi stimulus berkondisi yang positif sehingga anak akan melawan terhadap aktivitas baru yang menantang tapi tugas yang dapat beresiko.
Sikap dapat menjadi bagian dari hasil Classical Conditioning. Dalam satu penelitian (Olson & Fazio, 2001), seorang mahasiswa duduk di depan computer. Ia sedang menonton berbagai karakter kartun yang tidak dikenal dalam video game pokemon. Satu karakter digambarkan dengan kata-kata dan bentuk yang dapat membangkitkan perasaan yang menyenangkan (misalnya baik, mengagumkan, gambar anak anjing, dan es krim coklat). Karakter kedua digambarkan dengan kata-kata dan bentuk yang dapat membangkitkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya buruk, memalukan, gambar kecoa dan pria dengan pisau). Karakter lainnya digambarkan lebih netral. Setelah itu, ketika siswa diminta untuk menilai beberapa karakter kartun. Penilaian menggunakan skala -4 untuk sangat buruk hingga +4 untuk sangat baik. Mereka lebih baik menilai karater yang menyenangkan dari pada karakter yang tidak menyenangkan. Anehnya, sikap positif tidak selalu muncul ketika manusia mengalaminya dalam siatuasi yang sama. Mengalaminya secara berulang-ulang tanpa adanya sesuatu yang tidak menyenangkan akan cukup memberikan pilihan (Zajonc, 2001).
Contoh di atas merupakan contoh Classical Conditioning dalam kehidupan sehari-hari. Semoga penjelasan di atas dapat membantu kalian untuk mengenali respon dari Classical Conditioning. Pembahasan selanjutnya adalah beberapa fenomena umum yang dikaitkan dengan Classical Conditioning.

5.    Fenomena Umum dalam Classical Conditioning
Pavlov dan beberapa ahli behavioristik telah menjelaskan beberapa fenomena yang terkait dengan Classical Conditioning. Kita akan mempelajari beberapa fenomena tersebut, seperti: (a) dugaan yang berhubungan, (b) pentingnya kemungkinan, (c) kepunahan, (d) pemulihan spontan, (e) generalisasi, (f) diskriminasi rangsangan, (g) kondisi tingkat tinggi, dan (h) kondisi awal alat indra.

a.    Dugaan yang Berhubungan (Associative Bias)
Karakteristik dari stimulus berkondisi akan mempengaruhi sejauh mana kondisi akan terjadi. Rangsangan yang netral lebih terlihat, lebih cerah, lebih keras, atau sebaliknya lebih giat. Semakin besar kemungkinan menjadi terkondisi ketika pengalaman dihubungkan dengan rangsangan tak terkondisi (Rachlin, 1991; B. Schwartz & Reisberg, 1991). Selain itu, beberapa rangsangan menjadi dihubungkan dengan rangsangan tidak terkondisi. Misalnya, makanan lebih cenderung menjadi rangsangan terkondisi. Makanan dihubungkan dengan rasa mual (UCS), dari pada kilatan cahaya atau suara garpu tala. Dengan kata lain, hubungan antara rangsangan tertentu lebih mungkin untuk dilakukan dari pada hubungan antara fenomena lain yang dikenal dengan dugaan yang berhubungan (J. Garcia & Koeling , 1966; Hollis 1997; B. Schwartz & Reisberg, 1991). Sangat mungkin, evolusi telah terjadi dalam hal ini. Nenek moyang kita dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya ketika mereka cenderung membuat hubungan yang mencerminkan sebab akibat, seperti hubungan antara mual dengan makanan baru yang dipaksa (Ohman & Mineka, 2003; Timberlake& Lucas , 1989).

b.   Pentingnya Kemungkinan (Importance of Contingency)
Pavlov mengemukakan bahwa Classical Conditioninng terjadi ketika rangsangan terkondisi dan rangsangan tak terkondisi diberikan secara hampir bersamaan dan adanya kedekatan antara kedua rangsangan. Tapi, jika hanya kedekatan saja tentu belum cukup. Seperti disebutkan sebelumnya, Classical Conditioning paling sering terjadi ketika rangsangan terkondisi diberikan beberapa saat sebelum rangsangan tak terkondisi. Hal ini cenderung berhasil ketika CS dan UCS diberikan secara bersamaan, dan jarang berhasil ketika CS diberikan setelah UCS. (R. R. Miller & Barnet, 1993). Dalam beberapa kasus, orang-orang mengembangkan rasa keengganan terhadap beberapa makanan ketika terjadi penundaan antara stimulus terkondisi (makanan) dengan stimulus tidak terkondisi (mual) selama 24 jam (Logue, 1979).
Teori terkini telah menyarankan bahwa, kemungkinan merupakan kondisi yang sangat penting. Rangsangan terkondisi berpotensi terjadi ketika rangsangan tidak terkondisi mengikutinya. Dengan kata lain, ketika rangsangan terkondisi memberikan sinyal maka rangsangan tak terkondisi akan tiba. Ketika dua buah rangsangan yang biasanya ditemui secara terpisah terjadi secara bersamaan untuk beberapa kali secara kebetulan, Classical Conditioning  tidak mungkin terjadi  (Gallistel & Gibbon, 2001; Rescorla, 1988; Vansteenwegen, Crombez, Baeyens, Hermans, & Eelen, 2000).

c.    Kepunahan (Extinction)
Kita kembali sejenak mengingat anjingnya Pavlov. Anjing mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel bersamaan dengan bubuk daging pada beberapa kesempatan. Namun, apa yang akan terjadi jika bel dibunyikan secara terus menerus tanpa diikuti dengan pemberian bubuk daging? Pavlov menemukan bahwa rangsangan terkondisi yang diberikan secara berulang tanpa rangsangan tidak terkondisi menyebabkan respon terkondisi menjadi lemah secara berturut-turut.  Akhirnya, anjing tidak mengeluarkan air liur lagi ketika mendengar suara bel. Dengan kata lain, respon terkondisi akan menghilang. Pavlov menyebut kejadian ini sebagai kepunahan.
Kadang-kadang respon terkondisi akan padam (hilang), namun dapat juga tidak akan hilang. Ketidakpastian kepunahan adalah sumber rasa frustasi siapa saja yang bekerja dengan orang-orang yang memperoleh yang tidak diinginkannya. Nantinya, dalam bab ini saya akan membahas mengapa kepunahan tidak selalu dapat terjadi.

d.   Pemulihan Spontan (Spontaneous Recovery)
Meskipun Pavlov memutuskan respon air liur anjing yang terkondisi dengan cepat, dengan berulang kali menyajikan bel dengan tidak adanya tepung daging, ketika ia memasuki laboratorium pada hari berikutnya ia menemukan bahwa bel sekali lagi menimbulkan air liur, yang sebelumnya hampir seolah-olah tidak pernah terjadi (punah). Munculnya kembali respon air liur setelah sebelumnya telah diputuskan adalah sesuatu yang oleh Pavlov disebut spontaneous recovery (pemulihan spontan).
Dalam istilah yang lebih umum, spontaneous recovery (pemulihan spontan) adalah munculnya kembali respon terkondisi ketika periode kepunahan diikuti dengan periode istirahat. Sebagai contoh, jika saya berada di dekat banyak lebah pada periode waktu tertentu, akhirnya saya diam menata diri (settle down) dan kembali tenang. Setelah menghadapi lebah di beberapa kesempatan kemudian, respon pertama saya adalah kehilangan kendali lagi.
Pavlov menemukan bahwa ketika respon terkondisi muncul dalam spontaneous recovery (pemulihan spontan), itu biasanya lebih lemah dari respon terkondisi yang asli dan pemutusan yang lebih cepat. Dalam situasi di mana beberapa spontaneous recovery (pemulihan spontan) diamati (masing-masing terjadi setelah masa istirahat), CR (air liur) yang muncul kembali menjadi semakin lemah dan menghilang semakin cepat.

e.    Generalisasi (Generalization)
Anda mungkin ingat bahwa setelah Albert kecil dikondisikan untuk takut tikus putih, ia juga menjadi takut pada kelinci, anjing, mantel bulu putih, kapas, dan Santa Claus yang memakai topeng berbulu halus dan berjanggut. Ketika peserta didik menanggapi rangsangan lain dengan cara yang sama bahwa mereka menanggapi rangsangan AC, generalisasi terjadi. Semakin mirip stimulus maka menjadi stimulus terkondisi, semakin besar probabilitas generalisasi. Albert menunjukkan takut terhadap semua benda yang putih dan berbulu halus seperti tikus, tapi dia tidak takut pada selain putih dan blok mainan yang tidak berbulu halus miliknya. Dengan cara yang sama, seorang anak yang takut pada ayah yang kasar dapat menggeneralisasi bahwa rasa takut kepada orang lain, tetapi tidak untuk wanita.
Generalisasi tanggapan dikondisikan untuk stimulus baru merupakan fenomena umum (Bouton, 1994; N. C. Huff & LaBar, 2010; McAllister & McAllister, 1965). Dalam beberapa kasus, generalisasi respon takut AC benar-benar dapat meningkatkan dari waktu ke waktu; yaitu, seiring waktu, individu mungkin menjadi takut peningkatan jumlah objek. Dengan demikian, respon terkondisi disfungsional yang tidak cepat memadamkan kadang-kadang bisa menjadi lebih bermasalah seperti tahun-tahun berlalu.

f.     Diskriminasi Rangsangan (Stimulus Discrimination)
Pavlov mengamati bahwa ketika ia mengkondisikan anjing untuk mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap nada dengan nada tinggi, anjing akan menggeneralisasi bahwa respon dikondisikan untuk nada bernada rendah. Untuk mengajarkan anjing dalam membedakan antara dua nada, Pavlov berulang kali membunyikan nada tinggi dalam hubungannya dengan tepung daging dan membunyikan nada rendah tanpa daging. Setelah beberapa presentasi dari dua nada tersebut, anjing akhirnya belajar untuk mengeluarkan air liur hanya pada nada tinggi. Dalam terminologi Pavlov, diferensiasi antara dua nada telah terjadi. Psikolog saat ini lebih sering menggunakan istilah Stimulus Discrimination (Diskriminasi Rangsangan) untuk fenomena ini.
Stimulus Discrimination (Diskriminasi Rangsangan) terjadi ketika salah satu stimulus (CS +) disajikan bersama dengan stimulus berkondisi, dan stimulus lain (CS-) disajikan dalam ketiadaan UCS. Setiap orang mendapat respon terkondisi untuk CS + tapi entah tidak awalnya generalisasi respon terhadap CS- atau, melalui pengalaman berulang, belajar bahwa CS- tersebut tidak menjamin respon yang sama (NC Huff & LaBar, 2010). Sebagai contoh, jika seorang anak yang disalahkan oleh ayahnya secara bersamaan memiliki interaksi positif dengan orang dewasa lainnya, dia tidak mungkin untuk menggeneralisasi ketakutannya kepada ayahnya terhadap orang lain.

g.    Kondisi Tingkat lebih Tinggi (Higher-Order Conditioning)
Respon stimulus terkondisi kadang-kadang saling mendukung  satu sama lain. Sebagai contoh, jika Pavlov mengkondisikan anjing untuk mengeluarkan air liur pada suara bel dan kemudian disajikan bel yang di hubungkan dengan stimulus netral yang lain -katakanlah, dengan cepat bahwa tidak ada hubungannya dengan daging_ bahwa stimulus netral juga akan mulai mendapatkan respon air liur. fenomena ini dikenal sebagai second-order conditioning atau, lebih umum, Higher-Order Conditioning.
Higher-Order Conditioning bekerja seperti ini: Pertama, stimulus netral (NS 1) menjadi terkondisi stimulus (CS 1) oleh yang dipasangkan dengan stimulus berkondisi (UCS), sehingga segera memunculkan respon terkondisi (CR). Selanjutnya, stimulus netral kedua (NS 2) dipasangkan dengan CS 1, dan, juga, mulai mendapatkan respon terkondisi; bahwa stimulus kedua juga telah menjadi terkondisi stimulus (CS 2). Proses ini yang digambarkan di Gambar 3.2. Langkah 1 dan 2 menggambarkan Original Conditioning; Langkah 3 dan 4 menggambarkan Higher-Order Conditioning.
Gambar 3.2 Contoh Higher-Order Conditioning
Step 1:    NS1         
                                    (bell)                                       UCR
(salivate)
                                                UCS
(meat)

Step 2:    CS1                                          CR
(bell)                                       (salivate)                  


Step 3:    NS2
(light)                                      CR
                                                                        (salivate)
CS1
(bell)

Step 4:    CS2                                          CR
(light)                                      (salivate)

Higher-Order Conditioning memberikan penjelasan yang mungkin untuk beberapa hal menakutkan yang tampaknya tidak masuk akal (contoh, Klein, 1987; wessa & Flor, 2007). Misalnya, bayangkan bahwa pada beberapa kesempatan kegagalan pada tugas-tugas akademik (awalnya stimulus netral) dikaitkan dengan hukuman fisik yang menyakitkan (UCS yang memunculkan UCR takut), pada intinya bahwa kegagalan (sekarang CS) mulai menimbulkan kecemasan. Kemudian untuk stimulus situasi yang lain, seperti tes, presentasi lisan, atau lingkungan umum di sekolah sering dikaitkan dengan kegagalan. Dengan cara ini, siswa mungkin mengalami peningkatan kecemasan pada saat tes, takut berbicara di depan umum, atau bahkan fobia sekolah-takut terhadap sekolah itu sendiri.
Higher-Order Conditioning mungkin juga menjelaskan sikap-sikap tertentu yang kita peroleh terhadap tertentu orang atau situasi (misalnya, Kanekar, 1976). Sebagai contoh, mari kita kembali ke percobaan yang melibatkan Karakter Pokemon yang saya jelaskan sebelumnya (Olson & Fazio, 2001). Orang tidak dilahirkan dengan perasaan khusus tentang kata-kata mengagumkan atau mengerikan, juga tidak selalu memiliki built-in reaction terhadap gambar hot fudge sundae atau kecoak. Sebaliknya, orang mungkin mengalami perasaan tertentu tentang kata-kata dan gambar melalui pengalaman mereka dari waktu ke waktu, ke titik di mana rangsangan ini dapat memberikan titik awal untuk pengkondisian klasik lanjut.

h.   Kondisi Awal Alat Indra (Preconditioning Sensory)
Preconditioning Sensory mirip dengan pengkondisian tingkat tinggi dalam satu stimulus-respon asosiasi dibangun di atas yang lain, tetapi langkah-langkah yang terjadi dalam urutan yang berbeda. Mari kita kembali satu waktu akhir untuk miskin, anjing Pavlov dieksploitasi secara berlebihan. Misalkan kita pertama menyajikan suara bel dan flash dari cahaya secara bersamaan. Kemudian kita memasangkan bell dengan bubuk daging. Tidak hanya melakukan anjing mengeluarkan air liur di Menanggapi suara bel tetapi mereka juga mengeluarkan air liur dalam menanggapi kilatan cahaya.
Dalam istilah yang lebih umum, preconditioning sensorik terjadi seperti ini: Pertama, dua stimuli netral (NS 1 dan NS 2) disajikan secara bersamaan. Kemudian salah satu stimuli netral (NS 1) dikaitkan dengan stimulus berkondisi (UCS), sehingga menjadi stimulus terkondisi (CS 1) dan memunculkan respon terkondisi (CR). Dalam kasus preconditioning sensorik, netral kedua stimulus (NS 2) juga memunculkan respon terkondisi (yaitu, NS 2 telah menjadi CS 2) berdasarkan nya asosiasi sebelumnya dengan CS 1.
Preconditioning Sensory menawarkan penjelasan alternatif untuk beberapa kasus uji kecemasan (Klein, 1987). Sekolah (NS 1) pertama kali berhubungan dengan tes (NS 2). Jika sekolah ini kemudian dikaitkan dengan beberapa peristiwa traumatik (UCS), maka tidak hanya akan sekolah menjadi stimulus terkondisi (CS 1) memunculkan kecemasan (CR) tetapi tes dapat menjadi stimulus terkondisi (CS2) juga. Diagram bagaimana tes kecemasan bisa berkembang melalui preconditioning sensorik disajikan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Contoh Sensory Preconditioning
Step 1:    NS1         
                                    (school)                                
(no response)
                                                NS2
(tests)

Step 2:    NS1                                          UCR
(school)                                 (anxiety)   

UCS
(traumatic
event)    

Step 3:    CS1
(school)                                 CR
                                                                        (anxiety)

Step 4:    CS2                                          CR
(tests)                                     (anxiety)

6.    Cognition in Classical Conditioning
Sekarang banyak teori percaya bahwa Classical Conditioning sering melibatkan pembentukan hubungan tidak antara dua stimuli tetapi antara internal mental representations dari berbagai rangsangan (misalnya, Bouton, 1994; Forsyth & Eifert, 1998; McDannald & Schoenbaum, 2009). Selain itu, dengan adanya stimulus terkondisi memungkinkan suatu organisme untuk memprediksi (secara jelas mental) stimulus tidak terkondisi yang akan datang (Hollis, 1997; Jara, Vila, & Maldonado, 2006; Mineka & Zinbarg, 2006; Rescorla, 1988). Seperti yang Anda lihat, kemudian, behavioris kini mulai berbicara tentang  proses pemikiran bahwa mereka bebas mengendalikan lebih awal.
Pengkondisian klasik tidak selalu melibatkan kognisi, namun untuk lebih tepatnya tidak selalu melibatkan kesadaran (Baccus, Baldwin, & Packer, 2004; Campanella & Rovee-Collier, 2005; Papka, Ivry, & Woodruff-Pak, 1997). 4 Misalnya, ketika organisme menerima obat-obatan tertentu (misalnya, morfin atau insulin), obat-obatan, seperti rangsangan berkondisi, secara alami menyebabkan respon fisiologis tertentu (misalnya, mengurangi sensitivitas rasa sakit atau hipoglikemia). Anehnya, stimuli disajikan sebelum obat-mungkin berupa cahaya, nada, atau konteks lingkungan lebih umum-mulai mendapatkan respon yang berlawanan (misalnya, meningkatkan sensitivitas rasa sakit atau hiperglikemia), mungkin untuk mempersiapkan-dalam hal ini, untuk melawan-rangsangan farmasi yang akan segera menyusul (misalnya, Flaherty et al, 1980;. S. Siegel, 1975, 1979).
Respon fisiologis yang hampir pasti tidak sadar dikendalikan oleh penerima obat, adalah salah satu penjelasan yang mungkin untuk kecanduan masyarakat terhadap nikotin, alkohol, dan narkoba. Ketika perokok kebiasaan dan penyalahguna zat lainnya kembali ke lingkungan di mana mereka sebelumnya telah menggunakan zat adiktif, tubuh mereka merespon menetralkan cara yang membuat substansi bahkan lebih diinginkan atau tampaknya diperlukan. Sementara itu, mereka mengembangkan toleransi yang lebih besar untuk substansi pilihan mereka dan perlu meningkatkan jumlah untuk mendapatkan sesuatu yang sama “tinggi" atau mencari yang lainya_lebih dari sekedar status fisiologisnya. (CA Conklin, 2006; McDonald & Siegel, 2004; S. Siegel, 2005; S. Siegel, Baptista, Kim, McDonald, & Weise-Kelly, 2000).

7.    Changing Undesirable Conditioned Responses
(Mengubah Tanggapan Terkondisi yang tidak diinginkan)
Tanggapan Terkondisi seringkali sulit dihilangkan karena conditioned responses  tersebut muncul sendiri. Orang-orang memiliki sedikit atau tidak ada kontrol atas mereka. Namun beberapa tanggapan klasik AC (misalnya, beberapa irasional ketakutan) serius dapat mengganggu fungsi sehari-hari. Dua strategi yang mungkin untuk mengurangi kontraproduktif tanggapan AC adalah kepunahan dan counterconditioning.
a.      Extinguishing Undesirable Responses
(Pemadam/Pemutus Tanggapan yang tidak diinginkan)
Salah satu cara yang jelas untuk menghilangkan respon terkondisi adalah melalui proses kepunahan. Jika conditioned stimulus dipresentasikan tanpa adanya unconditioned stimulus dengan frekuensi yang cukup, maka respon terkondisi akan menghilang. Hal ini sering terjadi.
Sayangnya, bagaimanapun, kepunahan ini sangat dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan respon terkondisi. Hal ini sederhana namun tidak selalu  berlangsung demikian. Ada beberapa kemungkinan alasan:
         Kecepatan di mana kepunahan terjadi tidak dapat diprediksi. Jika, selama proses pengkondisian, conditioned stimulus kadang-kadang disajikan dalam hubungannya dengan unconditioned stimulus tapi kadang-kadang saja (yaitu, pasangan stimulus tidak konsisten), kepunahan cenderung menjadi sangat lambat (Humphreys, 1939).
         Orang (dan banyak spesies lain juga) cenderung menghindari stimulus takut, sehingga mengurangi kemungkinan bahwa mereka akhirnya menghadapi conditioned stimulus tanpa adanya unconditioned stimulus. (Kita akan melihat lebih dekat pada penghindaran belajar di Bab 4.)
         Melalui second-order conditioning, berbagai stimulus mungkin telah dikaitkan dengan original conditioned stimulus dan dengan demikian mulai menjadi tanggapan tidak produktif (mis, ketakutan ekstrim atau kecemasan). Kadang-kadang bisa sangat sulit untuk memadamkan  second-order conditioned responses ini- contoh: masalah yang telah dilaporkan pada orang yang menderita gangguan stres pasca trauma (wessa & Flor, 2007).
         Bahkan ketika respon telah dipadamkan, mungkin muncul kembali melalui pemulihan spontan. Kita tidak pernah bisa benar-benar yakin ketika respon spontan akan pulih dan ketika itu tidak kita inginkan. Spontaneous recovery (pemulihan spontan) mungkin terjadi jika kepunahan terjadi hanya dalam satu konteks; conditioned response sangat tepat jika muncul kembali dalam konteks yang dipunahkan tidak terjadi (Bouton, 1994).
b.      Counterconditioning More Desirable Responses
Yang terbaik, kepunahan hanya menghilangkan conditioned response, sedangkan counterconditioning menggantikan respon dengan sesuatu yang baru yang lebih produktif dan cenderung lebih efektif. Mary Cover Jones’s (1924) karya klasik dengan judul "Little Peter" memberikan contoh yang baik. Peter adalah seorang anak berusia 2 tahun yang entah bagaimana merasa takut pada kelinci. Untuk menyingkirkan ketakutan Peter, Jones menempatkannya di kursi tinggi dan memberinya beberapa permen. Saat ia makan, ia membawa kelinci ke dalam ruangan yang sama pada sisi yang jauh dari Peter. Dalam keadaan yang berbeda kelinci mungkin telah menimbulkan kecemasan. Namun, rasa senang yang dialami Peter karena makan permen memberikan respon yang lebih kuat dan melampaui kecemasan apapun yang dia rasakan karena kehadiran kelinci. Jones mengulangi prosedur yang sama setiap hari selama dua bulan, setiap kali menempatkan Peter di kursi tinggi dengan permen dan membawa kelinci sedikit lebih dekat daripada kesempatan sebelumnya, dan kecemasan Peter karena kelinci akhirnya menghilang. Baru-baru ini, para peneliti telah menggunakan prosedur yang sama dalam rangka membantu seorang anak berusia 8 tahun untuk menghilangkan rasa takutnya terhadap mainan animasi elektronik dan dekorasi liburan (Ricciardi, Luiselli, & Camare, 2006).


Secara umum, counterconditioning melibatkan langkah-langkah berikut:
1.      Respon baru yang tidak sesuai dengan respon terkondisi yang dipilih. Dua tanggapan tidak kompatibel satu sama lain ketika mereka tidak dapat dilakukan pada saat yang sama. Karena classically conditioned responses sering terjadi secara emosional secara alami, respon yang tidak kompatibel sering semacam reaksi emosional berlawanan. Misalnya, dalam kasus Little Peter, kebahagiaan digunakan sebagai incompatible response untuk menghadapi rasa takut. Sebuah alternatif akan ada respon yang melibatkan relaksasi, karena ketakutan dan kecemasan melibatkan ketegangan tubuh.
2.      Stimulus yang memunculkan respon yang tidak kompatibel harus diidentifikasi; misalnya, permen menimbulkan respons "happy" untuk Peter. Jika kita ingin membantu seseorang mengembangkan Tanggapan senang stimulus yang sebelumnya telah menimbulkan ketidaksenangan, kita perlu menemukan stimulus yang sudah memunculkan kesenangan-mungkin teman, pesta, atau favorit makanan. Jika kita ingin seseorang memperoleh respon relaksasi, kita mungkin bertanya kepada orang tersebut untuk membayangkan berbaring di tempat yang sejuk, di padang rumput yang harum atau pada kursi oleh kolam renang.
3.      Stimulus yang memunculkan respon baru disajikan kepada individu, dan conditioned stimulus memunculkan respon terkondisi yang tidak diinginkan secara bertahap diperkenalkan ke situasi. Dalam memeberikan terapi untuk mengatasi ketakutan Peter terhadap kelinci, Jones pertama kali memberi Peter beberapa permen; ia kemudian disajikan kelinci agak jauh dari Peter, hanya secara bertahap membawanya lebih dekat dan lebih dekat dalam sesi berturut-turut. Trik di counterconditioning adalah untuk memastikan bahwa stimulus memunculkan respon yang diinginkan selalu memiliki efek kuat dari stimulus yang memunculkan respon yang tidak diinginkan. Jika tidak, mungkin respon yang terakhir yang mungkin menang.
Sebuah teknik saya sarankan untuk banyak mahasiswa pascasarjana yang takut statistik mereka diperlukan program pada dasarnya adalah versi dikelola sendiri dari counterconditioning. Secara khusus, saya sarankan bahwa siswa yang fobia terhadap matematika ketika menemukan buku matematika yang jauh di bawah tingkat kemampuan mereka sendiri-di tingkat dasar tentang bilangan, -sehingga masalah kecemasan tidak muncul. Ketika mereka bekerja melalui teks, para siswa mulai mengasosiasikan matematika dengan sukses daripada kegagalan. Instruksi yang diprogramkan (dijelaskan dalam Bab 5) adalah teknik lain yang dapat berguna dalam mengurangi kecemasan tentang materi pelajaran yang diberikan, karena kemungkinan siswa untuk menguasai materi yang sulit berpotensi lebih kecil, dengan langkah yang mudah.
Counterconditioning sebagai sarana untuk mengurangi atau menghilangkan tanggapan kecemasan banyak dikondisikan. Misalnya, dalam desensitisasi sistematis, orang-orang yang merasa cemas berlebihan dengan adanya rangsangan tertentu diminta untuk bersantai sambil membayangkan diri agar stresnya hilang perlu melibatkan orang-orang lain untuk memberikan rangsangan; dalam melakukannya, mereka secara bertahap menggantikan kecemasan dengan respon relaksasi (Head & Gross, 2009; Wolpe, 1969; Wolpe & Plaud, 1997). Atau, orang mungkin memiliki "pengalaman" serangkaian situasi stres melalui penggunaan kacamata dan gambar yang dihasilkan komputer, sambil membuat upaya bersama untuk bersantai (P. Anderson, Rothbaum, & Hodges, 2003; Garcia-Palacios, Hoffman, Carlin, Furness, & Botella, 2002).
Desensitisasi sistematis telah banyak digunakan sebagai sarana mengobati masalah seperti tes kecemasan dan ketakutan berbicara di depan umum (Head & Gross, 2009; Hopf & Ayres, 1992; WK Silverman & Kearney, 1991). Aku harus menunjukkan, bagaimanapun, bahwa mengobati tes kecemasan sendiri, tanpa remediating sumber akademik kemungkinan hasil tes siswa miskin juga, dapat mengurangi tes kecemasan tanpa perbaikan bersamaan dalam nilai ujian (Cassady, 2010b; Naveh-Benjamin, 1991; Tryon, 1980).


Implikasi Asumsi Behavioris dan Classical Conditioning pada Pendidikan
Dari apa yang telah kita pelajari sejauh ini tentang ide-ide behavioris, kita dapat memperoleh beberapa implikasi untuk pengaturan instruksional:
1.      Praktek adalah penting. Dari perspektif behavioris, orang lebih cenderung untuk belajar ketika mereka memiliki kesempatan untuk berperilaku. contoh ketika mereka bisa berbicara, menulis, melakukan percobaan, atau presentasi (misalnya, Drevno et al, 1994;. McDowell & Keenan, 2001;. Warren et al, 2006). Idealnya, kemudian, siswa harus aktif responden selama proses pembelajaran, bukan hanya pasif penerima informasi atau keterampilan apa pun yang sedang diajarkan.
Banyak behavioris menekankan gagasan bahwa pengulangan asosiasi stimulus-respon memperkuat asosiasi tersebut. Jika orang perlu belajar tanggapan terhadap rangsangan tertentu secara menyeluruh, praktek sangat penting. Sebagai contoh, siswa akan belajar dasar dan mengambilnya lebih cepat jika mereka mengulangi fakta-fakta berkali-kali-mungkin melalui penggunaan kartu flash atau mungkin dengan menerapkan fakta-fakta sering pada tugas pemecahan masalah. Dengan cara yang sama, banyak guru percaya bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan membaca mereka tidak hanya untuk membaca, membaca, membaca.
2.      Siswa harus menghadapi materi pelajaran dalam iklim yang positif dan mengasosiasikannya dengan emosi yang menyenangkan. Daya tahan dan generalisasi beberapa tanggapan pengkondisian klasik diarahkan pada kebutuhan iklim kelas yang positif bagi siswa yang dimulai pada Hari ke-1. Siswa harus mengalami tugas-tugas akademik dalam konteks yang menimbulkan emosi menyenangkan-perasaan seperti kenikmatan, antusiasme, dan kegembiraan-bukan dalam konteks yang menimbulkan kecemasan, kekecewaan, atau kemarahan. Ketika siswa menghubungkan materi pelajaran akademik dengan perasaan yang baik, mereka lebih mungkin untuk mengejar semua itu atas kemauan mereka sendiri. Misalnya, ketika pengalaman awal anak-anak dengan buku adalah yang menyenangkan, mereka lebih cenderung untuk lebih sering membaca dan secara luas di tahun kemudian (L. Baker, Scher, & Mackler, 1997).
Sebaliknya, ketika sekolah atau guru dikaitkan dengan hukuman, penghinaan, kegagalan, atau frustrasi, sekolah dan kurikulum dapat menjadi sumber kecemasan yang berlebihan. beberapa kegiatan-termasuk tes, presentasi lisan, dan materi pelajaran yang sulit -terutama yang terkait dengan konsekuensi yang tidak menyenangkan seperti kegagalan atau rasa malu, dan siswa dapat segera menjadi cemas ketika terlibat di dalamnya (Cassady, 2010a; Zeidner & Matthews, 2005).
Pendidik telah sering berargumentasi bahwa sekolah harus menjadi tempat di mana siswa bertemu lagi dan sukses dari kegagalan, dan pengkondisian klasik memberikan pembenaran bagi argumen mereka. untuk memaksimalkan keberhasilan tersebut, guru harus mengantarkan siswa untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan memiliki kemampuan kognitif yang melekat pada pikiran mereka ketika merencanakan kurikulum mereka, dan mereka harus menyediakan sumber daya dan bantuan yang diperlukan siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kelas dengan sukses. Mereka juga harus mengambil tindakan pencegahan khusus ketika meminta siswa untuk melakukan kegiatan yang sulit di depan orang lain. Misalnya, ketika siswa harus melakukan presentasi lisan di kelas, guru mereka mungkin memberikan saran spesifik tentang materi apa yang harus dipresentasikan dan bagaimana menyajikannya sedemikian rupa agar teman sekelas bereaksi positif.
Ini bukan untuk mengatakan, bahwa siswa tidak boleh mengalami kegagalan. Seperti kita akan menemukan di diskusi kita tentang teori Lev Vygotsky dalam Bab 13, kegiatan menantang lebih cenderung meningkatkan pertumbuhan kognitif dari yang mudah, dan kesalahan yang tak terelakkan ketika siswa harus bergulat dengan masalah sulit dan tugas. Tapi ketika siswa mengalami kegagalan terlalu sering, baik dalam sekolah atau pada hubungan sosial-misalnya, ketika satu atau lebih rekan-rekan berulang kali menggertak mereka di sekolah hal ini dengan cepat dapat menjadi stimulus responses yang mengarah ke kontraproduktif seperti conditioned responses sebagai ketakutan dan kecemasan. Respon ini, setelah dikondisikan, dapat sangat tahan terhadap kepunahan dan dengan demikian dapat mengganggu kemampuan siswa untuk belajar secara efektif untuk tahun yang akan datang.
3.      Untuk memecahkan kebiasaan buruk, pelajar harus mengganti satu koneksi S-R dengan yang lain. Anda mungkin berpikir dari kebiasaan buruk berhubungan dengan stimulus-respon yang tidak diinginkan. Satu behavioris awal (Guthrie, 1935) mengusulkan tiga teknik cerdik khusus dirancang untuk menghentikan kebiasaan; kedua dan ketiga mencerminkan aspek pendekatan counterconditioning yang dijelaskan sebelumnya:
a.       Metode Kelelahan (Exhaustion method): Salah satu cara untuk mematahkan kebiasaan stimulus-respon adalah untuk terus menyajikan stimulus sampai individu terlalu lelah untuk menanggapi dengan cara kebiasaan. Pada saat itu, respon baru akan terjadi dan kebiasaan S-R baru akan terbentuk. Misalnya, ketika melanggar bucking bronco, pengendara persisten (stimulus) tetap pada punggung kuda sampai kuda itu terlalu lelah untuk buck lagi, membuat jalan bagi kebiasaan yang lebih diinginkan (misalnya, pengendara sekarang dapat melakukan perilaku dengan  berdiri). Demikian pula, jika seorang anak terus mengganggu kegiatan kelas dengan perilaku tertentu (misalnya, lelucon, melempar benda-benda di ruang), guru dapat menghilangkan perilaku dengan meminta anak tersebut tetap tinggal di kelas setelah pulang sekolah untuk terus mengulanginya sampai ia terlalu lelah untuk melanjutkan.
b.      Metode Threshold (Threshold method): cara lain untuk melanggar kebiasaan adalah mulai dengan menghadirkan stimulus sangat samar-samar, sehingga individu tidak menanggapinya dengan cara kebiasaan. Intensitas dari stimulus tersebut kemudian meningkat secara bertahap bahwa individu tetap tidak menanggapinya. Sebagai contoh, ketika seorang anak memiliki kecemasan tes-dengan kata lain, ketika tes stimulus mengarah ke respon kecemasan-guru mungkin menghilangkan kecemasan anak dengan: pertama menyajikan tugas menyenangkan yang hanya menyerupai tes. Seiring waktu, guru dapat menyajikan serangkaian tugas yang semakin meningkat (namun secara bertahap) mulai memberikan semacam tes yang lebih berkualitas.
c.       Metode Ketidakcocokan (Incompatibility method): Pendekatan ketiga adalah untuk menyajikan stimulus ketika kebiasaan respon tidak dapat terjadi dan ketika lawan, atau tidak kompatibel, respon akan terjadi. Contoh, bayangkan sebuah kelas yang sangat-prestasi termotivasi siswa yang terlalu kompetitif dengan satu sama lain. Untuk mengurangi semangat kompetitif mereka, guru mungkin membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dan menugaskan setiap kelompok tugas akademik yang membutuhkan kerjasama bukan kompetisi (misalnya, mengembangkan argumen untuk satu sisi dari masalah dalam debat kelas). Menetapkan nilai berdasarkan kinerja kelompok daripada individu kinerja lebih lanjut harus meningkatkan kemungkinan bahwa siswa akan bekerja sama lebih daripada bersaing. Dalam kondisi seperti itu, perilaku kooperatif harus mengganti kompetitif perilaku (C. Ames, 1984; DW Johnson & Johnson, 2009).
4.      Menilai pembelajaran berdasarkan perubahan perilaku. Terlepas dari seberapa efektif aktivitas, kuliah, atau materi pada kurikulum berpotensi, guru seharusnya tidak pernah menganggap bahwa siswa belajar sesuatu kecuali mereka benar-benar mengamati adanya perubahan perilaku siswa sebagai hasil dari instruksi. Hanya perubahan perilaku-misalnya, nilai ujian yang lebih tinggi, meningkatan kinerja, keterampilan berinteraksi sosial yang lebih tepat, atau belajar yang lebih baik menjadi kebiasaan- akhirnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi.







Ringkasan
Behaviorisme meliputi sekelompok teori yang berbagi beberapa asumsi umum, termasuk generalisasi prinsip-prinsip pembelajaran di seluruh spesies, pentingnya fokus pada kejadian yang dapat diamati, dan sifat sebagian besar blank-slate nature organisms. Awal behavioris bersikeras bahwa psikologi bisa menjadi ilmu yang benar hanya jika didefinisikan sebagai perubahan perilaku belajar, dan mereka hanya berfokus pada hubungan stimulus-respon. Hari ini, beberapa behavioris membuat perbedaan antara belajar dan perilaku, dan beberapa percaya bahwa hubungan antara stimuli dan tanggapan dapat lebih dipahami ketika faktor kognitif  juga dipertimbangkan.
Satu terobosan peneliti kebiasaan perilaku adalah Ivan Pavlov, yang mengusulkan bahwa tanggapan yang muncul sendiri diperoleh melalui proses Classical Conditioning. Classical Conditioning tersebut terjadi ketika dua stimuli disajikan bersama-sama dalam waktu dekat. Salah satunya adalah unconditioned stimulus (UCS) yang sudah memunculkan unconditioned response (UCR). Stimulus kedua, melalui kerjasama dengan stimulus berkondisi, mulai mendatangkan Tanggapan juga: Ini menjadi conditioned stimulus (CS) yang membawa conditioned response (CR). Tetapi jika conditioned stimulus disajikan berkali-kali tanpa adanya unconditioned stimulus, conditioned response menurun dan akhirnya mungkin hilang (punah). Namun demikian, mungkin muncul kembali setelah masa istirahat (spontaneous recovery).
Setelah organisme belajar untuk membuat conditioned response karena adanya conditioned stimulus, maka akan merespon dengan cara yang sama terhadap stimulus yang sejenis (generalisasi) kecuali jika stimulus kedua telah berulang kali bedakan maka hal ini disebut stimulus discrimination. Classically conditioned dapat berhubungan satu sama lain melalui proses Higher-Order Conditioning dan sensory preconditioning; dalam kedua kasus, stimulus netral dapat menjadi stimulus terkondisi (memunculkan respon terkondisi), tidak langsung oleh hubungannya dengan stimulus berkondisi, tetapi secara tidak langsung dihubungkan dengan stimulus lain baik akan dialami atau yang dimiliki sebelumnya telah berpengalaman dalam hubungannya dengan UCS.
Pengkondisian klasik menyediakan satu penjelasan tentang bagaimana manusia memperoleh respon fisiologis tertentu (misalnya, peningkatan kepekaan terhadap nyeri), respons emosional (misalnya, kecemasan), dan sikap (misalnya, suka atau tidak suka) terhadap rangsangan tertentu. Hal ini memberikan dua strategi untuk menghilangkan tanggapan tersebut yaitu: kepunahan dan counterconditioning (yaitu, menggantikan yang tidak produktif pada hubungan S-R dengan yang lebih produktif).
Diskusi kita tentang behaviorisme menghasilkan beberapa implikasi pendidikan. Pertama, aktif menanggapi dan praktek merupakan bahan penting dalam pembelajaran yang efektif. Kedua, Classical Conditioning memiliki paradigma pentingnya yag menekankan untuk membantu peserta didik mengalami subyek akademik dalam konteks yang menyenangkan dibandingkan dengan emosi yang tidak menyenangkan. Ketiga, menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan (misalnya, melanggar kebiasaan buruk atau menghindari pertumbuhan produksi situasi) harus dalam satu cara atau melibatkan lain mengganti koneksi S-R yang ada dengan lebih produktif yang. Akhirnya, guru dapat menyimpulkan bahwa  pembelajaran telah terjadi hanya ketika mereka mengamati adanya perubahan perilaku siswa.